Ia menambahkan, “Dukungan dari keluarga dan orang-orang sekitar sangat membantu dalam pemulihan penderita kanker. Dan berpikir positif bahwa penyakit ini merupakan sebuah tantangan untuk bertahan hidup.”
Namun untuk menunjukkan rasa empati, kata Cindy, bukan dengan menampilkan mimik prihatin. Menurut Cindy, empati berbeda dengan rasa kasihan. Jika mengasihani yakni melihat objek dari luar, maka empati berarti menyelam ke dalam kehidupan objek.
Selain itu, empati dapat ditunjukkan dengan tidak melakukan justifikasi kepada pasien kanker payudara. “Apa pun yang diekspresikan oleh para penderita kanker, merupakan apa yang mereka rasakan secara nyata (real).Kita memvalidasi apapun perasaan yang mereka laporkan, karena itulah yang mereka rasakan,” ujar Cindy.
Linda Agum Gumelar, Chairperson & Founder YKPI mengatakan, keahlian psikologi dan komunikasi dibutuhkan oleh seorang pendamping pasien kanker payudara.
Pasalnya, kedua hal itu berguna untuk menguatkan pasien, di samping ikhtiar kesehatan melalui pengobatan medis. Dia mencontohkan, saat terkena kanker payudara pada 1996 lalu, mantan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) itu merasa tertekan akibat kalimat-kalimat bernada memojokkan dari sejumlah pihak.
“Saya mendapatkan tekanan yang luar biasa, dari banyak orang, karena psikologi dan komunikasi tidak dipahami. Sehingga setelah bertemu dengan mereka, bukannya tambah kuat, tapi justru memojokkan kita, perasaan dan emosi kita,” tutur Linda.
Linds menegaskan dukungan psikologis sangat dibutuhkan penderita kanker payudara. “Menghadapi kanker payudara bukan sekadar menjaga tubuh tetap kuat, tetapi juga memastikan emosi dan mental pasien tetap stabil. Ini adalah tantangan yang tidak ringan, tetapi dukungan moral dari orang-orang terdekat sangat membantu,” katanya. (*)
Tags:Kanker Payudara Kesehatan Mental Penderita Kanker