NYATA MEDIA — Tidak semua pendaki memulai langkahnya dengan sepasang kaki. Muhammad Hikmat membuktikannya. Pria kelahiran Kampung Cicau, Sukaraja, Sukabumi, Jawa Barat, itu naik Gunung Prau tanpa kaki.
Sudah lama Guru Sekolah Luar Biasa (SLB) Negeri Batang, Jawa Tengah, tersebut memendam keinginan melihat lautan awan secara langsung. Tetapi kesibukan mengajar, menjadi atlet paralimpiade, dan aktivitas sosial lain membuat rencana itu tertunda.
“Banyak yang bilang naik gunung itu hanya untuk orang sempurna. Saya jawab, enggak. Saya bisa melakukan,” kata Hikmat saat ditemui Nyata di rumah kakaknya di Bumiland Jatimurni, Bekasi Selatan, Sabtu (11/10).
| Baca Juga: Bathara Saverigadi Dewandoro, Koreografer Muda yang Karyanya Ditarikan 8.000 Orang
Pendakian dimulai dari rumahnya di Batang. Pada awal Juli 2025, dia dan rombongan kecil berangkat ke Wonosobo menggunakan sepeda motor menuju Basecamp Patak Banteng. Pendamping setianya kali ini adalah keponakannya, Rizki. Rencana pendakian ini tidak berjalan mudah.
Ketika mengajak kawan-kawan lain, beberapa menolak. “Enggak ada yang mempercayai saya. Yang mau diajak takut. Katanya enggak mungkin saya bisa naik gunung,” ucap ayah dari Mohamad Hikmal Gumilar dan Mohamad Hikbal Gumilang itu.

Muhammad Hikmat, pendaki difabel. (Foto: Dok. Pri)
Tetapi, ragu bukan hal yang asing bagi Hikmat. Sudah sejak remaja dia akrab dengan tatapan meremehkan dan cibiran. Tapi kali ini dia tidak peduli.
“Saya tidak mau membuktikan ke orang lain. Saya mau membuktikan ke diri sendiri, seberapa jauh batas kemampuan saya,” kata suami Fatul Hikmah itu mantap.
| Baca Juga: Kasus Vape Ilegal, Jonathan Frizzy Divonis Lebih Ringan dari Tuntutan
Meski Gunung Prau dikenal ramah bagi pemula dengan ketinggian 2.565 mdpl, perjalanan ini jelas bukan pendakian biasa. Tanpa kaki, setiap meter adalah tantangan.
Hikmat tidak naik dengan bantuan kursi roda. Dia mendaki dengan cara bertumpu pada kedua tangan dan pangkal pahanya. Untuk melindungi tubuh dari luka dan gesekan tanah, dia melapisi pangkal paha dengan empat lapis baju dan plastik tebal.
Tangan dilindungi sarung tangan kulit, sementara skateboard dibawa sebagai alat bantu saat jalur landai. Pendakian tidak dilakukan malam hari. Rombongan memilih bermalam di basecamp untuk memastikan stamina cukup.
Esok paginya, pendakian dimulai. Biasanya, pendaki mencapai puncak Prau dalam tiga jam. Tapi bagi Hikmat, perjalanan memakan waktu lima jam. Dia tidak tergesa. Naik pelan, berhenti sebentar, tarik napas, lalu lanjut lagi.
| Baca Juga: Tragedi Timothy Anugerah, Mahasiswa Unud yang Diduga Alami Bullying Sebelum Akhiri Hidup
Tantangan terbesar bukan tanjakan, tetapi jalur yang licin dan berlumpur. “Kalau sudah ketemu tanah becek, itu yang paling merepotkan. Air bisa tembus ke celana,” ujarnya.
Untuk melindungi tubuhnya dia menggunakan celana jas hujan, bagian bawah diikat ke pinggang agar tidak mengganggu gerak.
Meski harus berjalan dengan kedua tangan, dia tidak pernah meminta digendong atau ditarik. Prinsipnya tegas, dia harus menyelesaikan pendakian dengan kekuatan dirinya. “Semua saya lakukan sendiri,” katanya.
Di jalur landai, skateboard menjadi penyelamat. Dengan duduk di atasnya, dia mendorong tubuh menggunakan tangan.
| Baca Juga: Jamie Smart, Fotografer Cilik Pemenang ‘Wildlife Photographer of the Year 2025’
“Kalau tidak pakai skateboard, tangan bisa cepat lecet,” ujarnya. Dia mengakui hingga kini belum ada alat khusus untuk pendaki disabilitas sepertinya. “Tangan saya akan terus-terusan jadi kaki ketika naik gunung,” katanya sambil tersenyum.
Menjelang Pos 3, tenaganya nyaris habis. “Sempat terpikir turun saja. Capek sekali waktu itu,” katanya.
Tetapi dia kembali teringat pada orang-orang yang meragukannya. “Itu jadi pelecut. Kalau saya menyerah, berarti mereka benar,” ujar nya tegas.
Ketika mencapai puncak, semua lelah hilang. Di hadapannya terbentang lautan awan, sementara Gunung Sindoro, Sumbing, Merapi, dan Merbabu berdiri megah di kejauhan. “Rasanya luar biasa. Saya ingin terus naik gunung lagi,” tuturnya.
| Baca Juga: Kisah Syehlendra Haical: Impian Jadi Tentara Terpaksa Kandas
Rombongan memutuskan bermalam di puncak sebelum turun keesokan harinya pukul 10.00 WIB. Saat turun, dia memilih jalur lama yang lebih curam.
“Intinya saya naik gunung untuk menunjukkan bahwa keterbatasan itu hanya di pikiran. Kalau kita yakin mampu, batas itu hilang,” ujarnya. Setelah dari Prau, Hikmat juga mendaki Gunung Bimo di Wonosobo.
Hikmat lahir tanpa kaki akibat gangguan perkembangan janin. Masa kecilnya bahagia, tetapi dia sempat mengalami depresi saat SMP setelah dibully soal fisiknya.
Dia bahkan sempat berpikir mengakhiri hidup. Namun titik balik datang ketika ia memilih berdialog dengan Tuhan. “Sejak itu saya memutuskan berhenti menyalahkan keadaan. Saya ikhlas,” katanya.
| Baca Juga: Sosok Jane Goodall, Peneliti Simpanse Terbaik yang Meninggal Dunia
Sejak remaja, dia tidak berhenti berprestasi. Juara catur pelajar Sukabumi, peraih medali Peparnas Jawa Barat 2013, dua emas di Peparnas Jawa Tengah 2023, hingga akhirnya menjadi guru SLB Negeri Batang pada 2018 setelah lolos CPNS jalur disabilitas.
Yang selalu diingat Hikmat, SK sebagai PNS diserahkan olah Gubernur Jawa Tenggah, Ganjar Pranowo. “Waktu ada tes CPNS besar-besaran 2018, saya coba iseng-iseng penerimaan khusus jalur disabilitas, ikut tes di Semarang, Alhamdulillah lolos,”kenangnya.
Kini, setelah menaklukkan Prau dan Bimo, ia tengah bersiap untuk impian berikutnya. “Target saya selanjutnya Sindoro,” ujarnya. (*kri)
Jangan ketinggalan berita terbaru dan kisah menarik lainnya! Ikuti @Nyata_Media di Instagram, TikTok, dan YouTube untuk update tercepat dan konten eksklusif setiap hari.
Tags:Gunung Prau Jawa Barat Muhammad Hikmat Sekolah Luar Biasa SLB Sukabumi