Tangan dilindungi sarung tangan kulit, sementara skateboard dibawa sebagai alat bantu saat jalur landai. Pendakian tidak dilakukan malam hari. Rombongan memilih bermalam di basecamp untuk memastikan stamina cukup.
Esok paginya, pendakian dimulai. Biasanya, pendaki mencapai puncak Prau dalam tiga jam. Tapi bagi Hikmat, perjalanan memakan waktu lima jam. Dia tidak tergesa. Naik pelan, berhenti sebentar, tarik napas, lalu lanjut lagi.
| Baca Juga: Tragedi Timothy Anugerah, Mahasiswa Unud yang Diduga Alami Bullying Sebelum Akhiri Hidup
Tantangan terbesar bukan tanjakan, tetapi jalur yang licin dan berlumpur. “Kalau sudah ketemu tanah becek, itu yang paling merepotkan. Air bisa tembus ke celana,” ujarnya.
Untuk melindungi tubuhnya dia menggunakan celana jas hujan, bagian bawah diikat ke pinggang agar tidak mengganggu gerak.
Meski harus berjalan dengan kedua tangan, dia tidak pernah meminta digendong atau ditarik. Prinsipnya tegas, dia harus menyelesaikan pendakian dengan kekuatan dirinya. “Semua saya lakukan sendiri,” katanya.
Di jalur landai, skateboard menjadi penyelamat. Dengan duduk di atasnya, dia mendorong tubuh menggunakan tangan.
| Baca Juga: Jamie Smart, Fotografer Cilik Pemenang ‘Wildlife Photographer of the Year 2025’
“Kalau tidak pakai skateboard, tangan bisa cepat lecet,” ujarnya. Dia mengakui hingga kini belum ada alat khusus untuk pendaki disabilitas sepertinya. “Tangan saya akan terus-terusan jadi kaki ketika naik gunung,” katanya sambil tersenyum.
Menjelang Pos 3, tenaganya nyaris habis. “Sempat terpikir turun saja. Capek sekali waktu itu,” katanya.
Tetapi dia kembali teringat pada orang-orang yang meragukannya. “Itu jadi pelecut. Kalau saya menyerah, berarti mereka benar,” ujar nya tegas.
Ketika mencapai puncak, semua lelah hilang. Di hadapannya terbentang lautan awan, sementara Gunung Sindoro, Sumbing, Merapi, dan Merbabu berdiri megah di kejauhan. “Rasanya luar biasa. Saya ingin terus naik gunung lagi,” tuturnya.
Tags:Gunung Prau Jawa Barat Muhammad Hikmat Sekolah Luar Biasa SLB Sukabumi