NYATA MEDIA — Mengajak anak balita mendaki gunung kini menjadi tren di kalangan pasangan muda pencinta alam. Salah satunya Anisa Mawar Ningrum dan suaminya, Asep (30). Sama-sama hobi naik gunung, keduanya sepakat mengenalkan alam sejak dini kepada putra pertama mereka, Keenan Alfatih Sagarmatha.
Pendakian pertama dilakukan di kawasan Sentul, Jawa Barat. Saat itu, Keenan baru berusia tujuh bulan. Anisa pun membagikan video setiap perjalanan pendakian tersebut di media sosial. Video itu menuai pro dan kontra.
Tetapi, Anisa punya alasan tersendiri. Dia ingin Keenan lebih mencintai alam, berani, akrab dengan aktivitas luar ruang, dan menghargai ciptaan yang Kuasa. Sampai usia Keenan yang hampir menginjak empat tahun, mereka bertiga sudah bertualang di pengunungan Jawa Barat dan Jawa Tengah.
Bahkan Keen, panggilan sayang Keenan, sudah dibawa mendaki ke Gunung Rinjani saat berusia 1,8 bulan. ”Total pendakian yang kami lakukan sebanyak 30 kali. Rencananya, sebelum Keen berusia empat tahun kami sudah melakukan 40 pendakian,” kata Anisa yang menikah dengan Asep pada 2021 itu.
| Baca Juga : Kesaksian Pendaki saat Gunung Semeru Erupsi
Anisa mengaku bahagia bersama keluarga melakukan kegiatan alam itu. “Mengapa gunung? Gunung tempat paling alami saat ini. Mengapa harus membawa anak? Dia sudah mampu, kami mengenalkan sejak usia 2 bulan. Digendong naik gunung, diajak kemping, pilih trekking yang terdekat, dan ngajak dia bermain ke sungai, kaki menyentuh air,” ujar Anisa didampingi suaminya Asep ketika ditemui di rumahnya di Cikarang City, Jumat (21/11).
Foto : Dok Pri
Keduanya sengaja memilih rute yang sesuai untuk memastikan kesalamatan anak. Kali pertama trekking, kawasan wisata Curug adalah pilihan. Itu pun tidak sampai menginap. “Kami lihat dulu penerimaan dia. Bisa tahan suhu dingin atau tidak. Keen, malah oke, aman, dia senang. Ekpresi anak itu kan nggak bisa dibohongi, kalau dia takut, diapasti nangis,” beber Anisa.
Masuk usia 6 bulan, untuk kali pertama Keen diajak kamping dan nginap. Lokasi masih di Curug. Yang menarik, Keen tetap tenang dengan suasa kegelapan dan kesunyian. Untuk makan, tidak ada masalah. Porsinya malah lebih banyak dibanding saat berada dirumah.
Suasana itu punya poin tersendiri, sehingga Anisa merencanakan perjalanan selanjutnya. Pada usia 8 bulan, pasangan ini memutuskan untuk ajak anaknya mendaki Gunung Prau. Mendaki memang bukan yang pertama dilakukannya keduanya. Mereka sudah mendaki sejak kuliah.
| Baca Juga : Seniman Choi So Young Ubah Jeans Bekas jadi ‘Kota Kain Denim’
Meski Gunung Prau dikenal dengan medan yang tak terlalu berat, Anisa menyiapkan secara khusus perjalanan itu. Setiap pagi selama dua bulan, Keen berjemur untuk menjaga fisik. Anisa juga melakukan riset.
Membaca beberapa jurnal, yang menceritakan pengalaman para pendaki di Eropa yang membawa balita mereka mendaki gunung. Tak cukup dengan riset, Anisa berdiskusi dengan beberapa keluarga pendaki Indonesia yang melakukan pendakian terlebih dahulu sambal membawa anak. “Itu kita pikirin matang-matang banget,” jelasnya.
Selain itu Anisa juga berkonsultasi dengan dokter yang juga hobi naik gunung. Anisa pun baru mengajak Keen setelah dokter mengizinkan asal tetap bisa menjaga kehangatan tubuh. Setelah berbagai persiapan itu, mereka pun naik Prau. Sukses.
Dari literasi jurnal yang dibaca, Anisa berkesimpulan udara tropis Indonesia sangat baik untuk kesehatan mental anak-anak. Ketinggian pertama, di Gunung Prau, dilakukan di bawah 2000 Mdlp. Untuk itu, mereka butuh waktu dua bulan untuk persiapan.
Suaminya bertangung jawab dengan semua peralatan pendakian. “Orang bule bisa berani membawa anaknya naik gunung di 3000 Mdlp, masak kita nggak bisa? Saya kan tidak bawa anak ke gunung es,” jelasnya.
| Baca Juga : Punya Rambut Kribo Raksasa, Wanita Ini Pecahkan Rekor Dunia
Untuk menguji ketahanan tubuh pada suhu dingin, dia membawa anaknya bermain di Puncak, Bogor. “Nah, Keen kuat dengan suhu dingin, tapi tetap pakai jaket,” kata Anisa.
Sukses pendakian pertama, bersama anaknya bukan hanya mmemberi pengalaman baru bagi anak, tapi bagian dari quality time keluarga. “Jadi gunung itu menjadi rumah utama bagi kami. Kalau nggak naik gunung, kita kemping atau trekking,“ katanya.
Anisa mengatakan, persiapan untuk membawa Keen naik gunung selalu dilakukannya setiap saat. Misalnya, sepekan sebelum berangkat, dia bakal rajin mengendong Keen mengunakan baby carrier. Itu dilakukan supaya Keen merasa nyaman dan dia bisa menjaga keseimbangan saat mendaki. Keen juga rajin dikenalkan dengan kegelepan. Misalnya, tidur dalam keadaan gelap dan suhu AC diturunkan ke titik rendah.
Kata Anisa, setelah rajin turun naik gunung, ada perubahan pada Keen. Misalnya, dia sabar menghadapi sesuatu dan tidak mudah menangis kalau permintaannya tak dipenuhi. Keen juga mudah berkompromi. Keen sepertinya, juga menyukai kesunyian dan ketenangan. Seperti saat wawancara, ketika Anisa berbicara agak keras, Keen berkata, “Mama diam,” sambil menempelkan jari telunjuk ke bibirnya.
Saat mendaki, Anisa-Asep sepakat tujuan pertama mereka mendaki bukan untuk cepat sampai ke puncak, melainkan untuk memberikan pengalaman baru untuk anaknya. Maka, setiap perjalanan dilakukan sesantai mungkin.
| Baca Juga : Banjir dan Tanah Longsor Landa Sumatera Utara, 24 Orang Meninggal
Biasanya mereka tiba di lokasi atau base camp lebih awal. Waktu ekstra itu dipakai untuk melihat kondisi Keen: apakah dia rewel, pusing, atau muntah. Jika tanda-tanda ketidaknyamanan muncul, perjalanan langsung dibatalkan. “Selama ini kondisi Keen selalu baik. Kalau dia rewel dan tetap kami paksakan naik, ya bisa dimarahi pendaki lain,” ujar Anisa sambil tertawa kecil.
Setiap kali beristirahat, Keen dikeluarkan dari baby carrier dan dibiarkan bermain tanah. Durasi istirahat bervariasi antara 30 hingga 60 menit. “Kalau dia oke, kita jalan lagi,” kata Anisa. Saat Keen belum bisa bicara, dia memeriksa tubuh anaknya setiap istirahat. Pundak, perut bawah, dan punggung, untuk memastikan tidak kedinginan. Termometer selalu siap di ransel. Untuk tidur, mereka membawa sleeping bag berbulu angsa agar tubuh Keen tetap hangat.
Jika cuaca mendukung, Desember nanti Anisa dan Asep menargetkan pendakian ke-31 di salah satu gunung di Jawa Tengah. Apa manfaat mengajak anak naik gunung? “Bonding kami lebih kuat. Anak saya nggak pernah tantrum berlebihan, lebih komunikatif, dan lebih sabar,” kata Anisa.
Pendakian tidak selalu berjalan mulus. Dua kali mereka terjebak badai di Gunung Prau ketika cuaca berubah tiba-tiba. Saat tiba di pos tiga, angin kencang dan hujan turun tanpa jeda. Anisa segera melindungi Keen dengan baby carrier khusus yang tidak boleh basah karena bisa membuat tubuh anak hilang panas. “Persiapan harus sempurna. Kita nggak pernah tahu kondisi di atas,” kenangnya.
Sementara itu, Asep dibantu porter mendirikan tenda darurat. “Dua kali terjebak badai, alhamdulillah selalu bisa diatasi. Sempat panik juga, akhirnya kami putuskan turun,” katanya.
Anisa kemudian bercerita, sebelum menikah dia mengajukan satu syarat: setelah punya anak, mereka harus tetap mendaki bersama. Asep menyetujuinya, bahkan menjadikan satu set perlengkapan pendakian sebagai mahar pernikahan. (*)
Tags:Anisa Mawar Ningrum asep Gunung Mendaki prau Rinjani
