Setiap kali beristirahat, Keen dikeluarkan dari baby carrier dan dibiarkan bermain tanah. Durasi istirahat bervariasi antara 30 hingga 60 menit. “Kalau dia oke, kita jalan lagi,” kata Anisa. Saat Keen belum bisa bicara, dia memeriksa tubuh anaknya setiap istirahat. Pundak, perut bawah, dan punggung, untuk memastikan tidak kedinginan. Termometer selalu siap di ransel. Untuk tidur, mereka membawa sleeping bag berbulu angsa agar tubuh Keen tetap hangat.
Jika cuaca mendukung, Desember nanti Anisa dan Asep menargetkan pendakian ke-31 di salah satu gunung di Jawa Tengah. Apa manfaat mengajak anak naik gunung? “Bonding kami lebih kuat. Anak saya nggak pernah tantrum berlebihan, lebih komunikatif, dan lebih sabar,” kata Anisa.
Pendakian tidak selalu berjalan mulus. Dua kali mereka terjebak badai di Gunung Prau ketika cuaca berubah tiba-tiba. Saat tiba di pos tiga, angin kencang dan hujan turun tanpa jeda. Anisa segera melindungi Keen dengan baby carrier khusus yang tidak boleh basah karena bisa membuat tubuh anak hilang panas. “Persiapan harus sempurna. Kita nggak pernah tahu kondisi di atas,” kenangnya.
Sementara itu, Asep dibantu porter mendirikan tenda darurat. “Dua kali terjebak badai, alhamdulillah selalu bisa diatasi. Sempat panik juga, akhirnya kami putuskan turun,” katanya.
Anisa kemudian bercerita, sebelum menikah dia mengajukan satu syarat: setelah punya anak, mereka harus tetap mendaki bersama. Asep menyetujuinya, bahkan menjadikan satu set perlengkapan pendakian sebagai mahar pernikahan. (*)
Tags:Anisa Mawar Ningrum asep Gunung Mendaki prau Rinjani
