Membaca beberapa jurnal, yang menceritakan pengalaman para pendaki di Eropa yang membawa balita mereka mendaki gunung. Tak cukup dengan riset, Anisa berdiskusi dengan beberapa keluarga pendaki Indonesia yang melakukan pendakian terlebih dahulu sambal membawa anak. “Itu kita pikirin matang-matang banget,” jelasnya.
Selain itu Anisa juga berkonsultasi dengan dokter yang juga hobi naik gunung. Anisa pun baru mengajak Keen setelah dokter mengizinkan asal tetap bisa menjaga kehangatan tubuh. Setelah berbagai persiapan itu, mereka pun naik Prau. Sukses.
Dari literasi jurnal yang dibaca, Anisa berkesimpulan udara tropis Indonesia sangat baik untuk kesehatan mental anak-anak. Ketinggian pertama, di Gunung Prau, dilakukan di bawah 2000 Mdlp. Untuk itu, mereka butuh waktu dua bulan untuk persiapan.
Suaminya bertangung jawab dengan semua peralatan pendakian. “Orang bule bisa berani membawa anaknya naik gunung di 3000 Mdlp, masak kita nggak bisa? Saya kan tidak bawa anak ke gunung es,” jelasnya.
| Baca Juga : Punya Rambut Kribo Raksasa, Wanita Ini Pecahkan Rekor Dunia
Untuk menguji ketahanan tubuh pada suhu dingin, dia membawa anaknya bermain di Puncak, Bogor. “Nah, Keen kuat dengan suhu dingin, tapi tetap pakai jaket,” kata Anisa.
Sukses pendakian pertama, bersama anaknya bukan hanya mmemberi pengalaman baru bagi anak, tapi bagian dari quality time keluarga. “Jadi gunung itu menjadi rumah utama bagi kami. Kalau nggak naik gunung, kita kemping atau trekking,“ katanya.
Anisa mengatakan, persiapan untuk membawa Keen naik gunung selalu dilakukannya setiap saat. Misalnya, sepekan sebelum berangkat, dia bakal rajin mengendong Keen mengunakan baby carrier. Itu dilakukan supaya Keen merasa nyaman dan dia bisa menjaga keseimbangan saat mendaki. Keen juga rajin dikenalkan dengan kegelepan. Misalnya, tidur dalam keadaan gelap dan suhu AC diturunkan ke titik rendah.
Kata Anisa, setelah rajin turun naik gunung, ada perubahan pada Keen. Misalnya, dia sabar menghadapi sesuatu dan tidak mudah menangis kalau permintaannya tak dipenuhi. Keen juga mudah berkompromi. Keen sepertinya, juga menyukai kesunyian dan ketenangan. Seperti saat wawancara, ketika Anisa berbicara agak keras, Keen berkata, “Mama diam,” sambil menempelkan jari telunjuk ke bibirnya.
Saat mendaki, Anisa-Asep sepakat tujuan pertama mereka mendaki bukan untuk cepat sampai ke puncak, melainkan untuk memberikan pengalaman baru untuk anaknya. Maka, setiap perjalanan dilakukan sesantai mungkin.
| Baca Juga : Banjir dan Tanah Longsor Landa Sumatera Utara, 24 Orang Meninggal
Biasanya mereka tiba di lokasi atau base camp lebih awal. Waktu ekstra itu dipakai untuk melihat kondisi Keen: apakah dia rewel, pusing, atau muntah. Jika tanda-tanda ketidaknyamanan muncul, perjalanan langsung dibatalkan. “Selama ini kondisi Keen selalu baik. Kalau dia rewel dan tetap kami paksakan naik, ya bisa dimarahi pendaki lain,” ujar Anisa sambil tertawa kecil.
Tags:Anisa Mawar Ningrum asep Gunung Mendaki prau Rinjani
