By: Azharul Hakim
29 October 2025

NYATA MEDIA — Bayangan itu masih menggelayut di pundak Eky Priyagung. Meski lebih dari 16 tahun telah berlalu, kenangan kelam masa remajanya di Makassar seakan menancap permanen dalam ingatan. Di usia 14 tahun, dunia bocah lelaki itu dipenuhi rasa sakit, kecewa, dan kemarahan.

Pada 2009, dia menjadi korban kekerasan seksual berulang oleh seorang yang seharusnya dia hormati: Sudirman, guru mengaji sekaligus pimpinan taman pendidikan Alquran, di Makassar, Sulawesi Selatan, tempat di mana dia tinggal. Kepercayaan itu dikhianati, masa kecilnya direnggut.

Pengaduan yang Ditolak

Lajang kelahiran Madiun itu pernah mencoba bersuara. Dengan keberanian yang tersisa, pria 29 tahun itu mengadu pada ibunya, Lilis. Namun yang didapat justru tamparan batin. Padahal, dia mengalami pelecehan itu sebanyak tujuh kali. Keluh kesahnya dianggap sebagai sensasi. Dianggap “halu”. Orang tuanya tak percaya bahwa sosok terpandang seperti Sudirman bisa melakukan perbuatan sekeji itu.

“Harusnya mungkin nge-support anaknya. Jadi aku ngerasa kayak orang bingung,” kenang Eky, suaranya lirih. Tapi dia memilih memahami. Ibunya punya pergulatan hidupnya sendiri sebagai pekerja di lingkungan yang keras.

| Baca Juga : Komika Yono Bakrie Resmi Menikah, Kenang Nasihat Mendiang Gustiwiw

Mencari Kebenaran

Puluhan tahun Eky Priyagung menyimpan luka itu dalam diam. Hingga akhirnya, di kamar kosnya di Kebun Jeruk, Jakarta Barat, pria kelahiran Madiun, 1996 ini memutuskan untuk bicara. Awalnya lewat materi-materi stand-up comedy. Tapi pada 22 April 2025, dia memilih speak up secara terbuka, lewat konten di media sosialnya.

Keputusan itu tak mudah. Tapi respons yang datang di luar dugaan. Dalam hitungan hari, pesan-pesan dari korban lain berdatangan. Mulai dari mereka yang menjadi korban sejak 2008, sampai baru-baru ini. Mereka bercerita melalui direct message. Mereka mendapatkan pengalaman serupa, di masjid yang sama, oleh pelaku yang sama.

Tak Lagi Sendirian

Selain pengakuan para korban, ada juga yang mengirim pesan agar konten itu dihapus, Eky Priyagung menolak. Dia pun mengunggah Instastory permintaan tolong untuk mengungkap kasus pelecehan di masa lalu. Dia ingin membongkar dan mengakhiri perbuatan bejat guru itu.

Dia mulai menjaring, mendata. Dari 266 korban yang melaporkan pengalaman serupa, hanya 16 yang berani terbuka dan melapor ke polisi. Tetapi, jumlah itu cukup untuk membawa Sudirman ke pengadilan.

| Baca Juga : Sanae Takaichi, Perdana Menteri Jepang Pertama yang Wanita

Dan, lewat sidang di Ruang Purwoto Gandasubrata, Pengadilan Negeri (PN) Makassar, jaksa menuntut 13 tahun penjara plus denda Rp 100 juta. Tapi bagi Eky, hukuman itu belum sebanding. “Korbannya sangat banyak, anak-anak di bawah umur. Harus hukumannya lebih berat lagi,” tegasnya ketika ditemui di kamar kosnya, di kawasan Kebun Jeruk, Jakarta Barat, Minggu (26/10).

Dari Makassar

Kisah kelam pria yang akrab disapa Gondrong itu berawal ketika menyusul ibunya yang lebih dahulu merantau ke Makassar bersama suaminya.  Sebelumnya, Eky Priyagung bersama kakak perempuan dan adik laki-laki di tinggal bersama nenek di Madiun.

Dia menyusul ke Makassar ketika kelas 1 SMP.  Ibunya mengajak anak-anak berkumpul lagi karena sudah mempunyai pekerjaan tetap di tempat spa dan massage.  Mereka tinggal di sebuah rumah sederhana di kawasan lokalisasi.   Ayah tirinya bekerja sebagai juru masak.

Oleh ibunya, Eky minta untuk belajar mengaji agar tidak terbawa arus pergaulan bebas di kawasan tersebut.  “Tinggal di lingkungan itu kurang fit buat anak seusia saya,” ujar  Eky.  Awalnya, Eky merasa nyaman mengaji bersama anak-anak lain. Tetapi, guru bejat itu rupanya menyukai Eky. Dari sini pelecehan mulai terjadi.

| Baca Juga : Galang Donasi Ilegal untuk NewJeans, Fans di Bawah Umur Diseret ke Pengadilan

Tes Kenaikan Tingkat

Atas nama “tes kenaikan tingkat”, Eky diajak ke rumah Sudirman. Di sanalah segalanya berubah. Pintu dikunci, lampu dimatikan, dan Eky tak berkutik. “Dia mengambil kesempatan, pokoknya intinya menyakitkan. Saya bingung harus gimana,” katanya.

Eky berusaha bangkit ketika orang terdekatnya tidak mau peduli. Dia ingin sharing, tetapi tidak tahu kepada siapa. Sampai kemudian, dia nekat bertanya kepada santri lain. Tak ada respons. Namun dari gesture mereka, Eky menangkap ada sesuatu yang dirahasiakan.

Sampai kemudian, dia menemukan ada anak lain yang menjadi korban. “Aku marah sekali, sangat emosional, bukan aku sendiri korbannya.”  Dengan perasaan jengkel, Eky terus berusaha mengumpulkan bukti.  “Kok ada orang kayak gitu? Dia punya istri, anak,” kata Eky.

Dianggap Fitnah

Eky juga mengetahui beberapa anak mengalami trauma yang lebih berat dibanding dirinya. Bahkan ada yang disodomi. “Aku beruntung nggak sampai disodomi, ini gila,” kenangnya. Dia pun memutuskan untuk pindah tempat mengaji.

| Baca Juga : 7 Tahun Penantian Anak Pertama, Aline Adita Melahirkan di Usia 45

Ketika Eky akhirnya berani bicara di depan forum remaja mesjid, respons masyarakat justru memukul mundur. Dia dianggap menyebar fitnah, membuka aib. Eky dikucilkan, dianggap pembuat onar. Bahkan sempat mengaku atheis sebagai bentuk protes pada trauma yang dialami. Tapi dia berusaha bangkit. “Aku tidak trauma dengan mesjid, tapi aku trauma dengan Sudirman,” ujarnya.

Seni sebagai Penyembuh

Eky menemukan pelarian dalam seni. Melukis, menggambar, hingga akhirnya menjadi komika. Baginya, standup comedy adalah ruang untuk mengolah luka menjadi kekuatan. “Lebih baik kenangan jadi komedi daripada dikening jadi tragedi,” ujarnya, mencoba tersenyum.

Dia pun berhasil menyelesaikan pendidikan di Institut Teknologi Bandung (ITB) jurusan Desain Produk dengan nilai terbaik pada 2019. Prestasi yang membuktikan bahwa korban bisa bangkit lebih tinggi dari pelakunya.

Rekonsiliasi

Titik balik terbesar terjadi pada April 2025. Eky menyambangi ibunya di Papua untuk rekonsiliasi. Pertemuan itu menghadirkan kejutan: permintaan maaf yang selama ini dinantikan.

| Baca Juga : Mengulik Museum 798 Beijing yang Dikaitkan dengan Kematian Yu Menglong

“Mamaku sampai minta maaf panjang lebar. Tiap hari minta maaf,” katanya. Hubungan yang retak mulai diperbaiki. Eky memaafkan, memahami bahwa orang tuanya juga punya keterbatasan.

Kini Eky memaknai hidupnya dengan cara baru. “Orang tua saya tak meninggalkan warisan harta. Warisannya adalah cerita,” ujarnya. Cerita tentang bagaimana seorang anak bisa bertahan, bangkit, dan akhirnya menyelamatkan anak-anak lain dari nasib serupa.

Dia tak lagi terjebak dalam bayangan kelam masa lalu. “Aku sudah terbebas dari trauma yang menghantui selama ini,” tegasnya. Eky memilih fokus pada karir sebagai konten kreator, membawa pesan: luka bukan akhir dari segalanya. (*kri)

Tags:

Leave a Reply