NYATA MEDIA — Hampir sebulan sejak tragedi ambruknya musala Pondok Pesantren Al Khoziny, Sidoarjo , Senin (29/9) lalu. Para korban selamat mencoba bangkit dan berdamai dengan trauma.
Taufan Saputra Dewa
Taufan Saputra Dewa. Foto : Padnya
Sepanjang 13 tahun usia Taufan Saputra Dewa, mungkin ini 72 jam terpanjang yang pernah dirasakannya. Gelap gulita, tanpa makan dan minum, tertindih beton serta tidak tahu kapan pertolongan akan datang.
Pengalaman itu pun masih sangat kuat di ingatannya. Sambil menarik napas panjang dengan sorot mata menerawang, remaja yang biasa disapa Putra pun bercerita kepada Padnya Meisra dari Nyata, Senin (20/10) lalu.
| Baca Juga : Dua Santri Ponpes Al Khoziny Berhasil Dievakuasi, Korban Meninggal Bertambah
”Waktu itu saya baru selesai salat sunnah dan mau istirahat sebentar di musala. Nggak ada tanda-tanda apapun. Saya sempat tidur, lalu bangun untuk ambil wudhu dan siap salat Ashar berjamaah. Saya duduk di shaf tengah,” beber Putra di rumahnya, Dupak Pasar Baru, Krembangan, Surabaya.
Namun di rakaat ke tiga, ketenangan sore itu berubah jadi tragedi. ”Saya sempat lihat serpihan bangunan jatuh, suaranya bergemuruh. Tapi saya teruskan salat. Tiba-tiba pas berdiri (rakaan ke tiga, red), bangunannya langsung ambruk. Penyangga bambu jatuh. Saya coba lari, tapi kena reruntuhan,” kenangnya.
Masih Sadar
Bongkahan beton besar seketika menimpa tubuh mungilnya dan empat rekannya Al Fatih Cakra Buana, Muhammad Wahyudi, Syaifr Rosi dan Mochammad Agus Ubaidillah, yang nahasnya meninggal dunia di hari ke tiga evakuasi (baca kisah Agus di edisi 2827). ”Ketika ambruk saya masih sadar dan tahu-tahu sudah bersama empat santri lainnya terjebak di satu lokasi runtuhan itu,” ucapnya.
Mereka terjebak di sektor A4. Kelimanya baru bisa dievakuasi Rabu (1/10). Sayangnya nyawa Agus tidak bisa diselamatkan.
Di bawah reruntuhan yang sangat gelap, membuat kelimanya sulit bergerak. ”Gelap sekali di dalam reruntuhan. Saya tidak bisa lihat apa-apa. Bahkan untuk melihat kondisi teman-teman juga susah. Cuma posisinya ketika itu, Al Fatih, Wahyu lalu saya. Terus agak jauhan itu Rosi. Sementara Agus masih agak jauh dari kami, terhalang puing-puing,” ujarnya.
”Kami hanya bisa saling manggil. Saya juga sesekali komunikasi sama Wahyu, bagaimana cara untuk bisa keluar cepat. Agus sempat berusaha keras supaya bias keluar. Dia sampai nyoba njebol seng pakai batu,” kata Putra lagi.
Saling Menyemangati
Fahri Huzaini. Foto : Tia
Di hari ke dua, Putra dan teman-teman sebenarnya mendengar suara tim evakuasi yang hendak menolong Haical. ”Udah dengar. Agus juga sempat bilang, ’Pak abis Haical, saya ya, Pak’. Tapi pesan Agus nggak direspon,” imbuh Putra menirukan ucapan Agus yang begitu menyesakkan.
| Baca Juga : Mengenal Ponpes Al Khoziny Sidoarjo, Pesantren Tertua di Jatim yang Kini Diterpa Musibah
Mereka saling menyemangati, berusaha bertahan meski tak ada air dan makanan. Di tengah menahan rasa sakit di kaki kirinya, Putra memilih tetap tenang agar tak kehabisan tenaga. Dia bahkan sempat tertidur. ”Saya berusaha nggak panik. Saya pikir kalau panik, energi malah habis. Kadang saya sampai ketiduran, bahkan sempat mimpi bisa keluar dari reruntuhan, padahal masih kejebak,” ungkapnya.
Hari-hari dalam gelap itu terasa panjang. Kadang mereka berhalusinasi karena lelah dan panas. ”Waktu itu Al Fatih sempat ngelindur (mengigau, red), nyuruh saya ngeluarin sepedanya dari reruntuhan. Teman-teman juga pada lepas baju karena gerah. Cuma saya yang masih pakai baju,” ujarnya tersenyum tipis mengingat kejadian itu.
Pada hari ketiga, Tim Penyelamat berhasil menjebol beton tebal itu (baca kisah lengkapnya di halaman sebelumnya). Sayangnya, Agus saat ditemukan sudah meninggal dunia. ”Di hari itu (ke tiga, red) Agus sudah tidak ada suara lagi, tidak ada usaha untuk menjebol pakai batu. Saya panggil tidak menyahut,” katanya lirih.
Sempat Ragu
Evakuasi pun mulai dilakukan secara bertahap. Satu per satu mereka diangkat dari reruntuhan. Wahyu diselamatkan terlebih dahulu pukul 18.05 WIB, disusul Al Fatih, kemudian Putra dan terakhir Rosi pukul 20.20 WIB. Mereka segera dibawa ke RSUD Notopuro Sidoarjo untuk mendapatkan perawatan. Beberapa hari kemudian, Minggu (5/10), Putra diperbolehkan pulang.
”Kaki saya ada luka sedikit karena kejepit corcoran (adukan semen dan batu kerikil, red). Alhamdulillah sekarang sudah tidak terasa sakit,” ujar Putra menunjuk bekas luka di kakinya.
Fahri Huzaini
Fahri Huzaini masih mengingat dengan baik kejadian pada Senin (29/10) petang itu. Usai menyelesaikan rakaat pertama salat Ashar yang dilaksanakan berjamaah, anak pertama dari dua bersaudara itu mendengar suara reruntuhan bambu di bagian belakang musala.
Dia mengaku sudah waspada meski salat tetap berlanjut. Namun, begitu rakaat kedua, ketika tetiba bangunan bergoyang hebat dan suara reruntuhan makin kencang, santri kelahiran 25 Januari 2012 itu refleks. Dia langsung lompat berlari ke arah bangunan musala lama yang berada di bagian depan yang menjadi shaf awal.
”Goyangannya kencang. Aku langsung lari saja sama teman-teman,” kata warga Desa Sidokepung, Buduran, Sidoarjo itu. Sebagian besar teman-temannya di shaft yang berdekatan dengannya pun melakukan hal yang sama.
Dia menyebutkan, tidak sampai hitungan menit, bangunan musala empat lantai yang sedang dalam proses pembangunan itu pun ambruk. ”Waktu bambu jatuh pertama itu, sudah ngerasa enggak enak. Apalagi kemudian suara ambrukan tambah kenceng dan diikuti bangunan yang goyang-goyang. Langsung lari saya,” ujar siswa kelas dua Ibtidaiyah itu.
Remaja penghobi bola itu mengatakan, mereka yang berada di shaf depan memang selamat. Karena bangunan musala di bagian depan adalah bangunan lama yang tidak terhubung dengan bangunan baru yang runtuh tersebut.
Bangunan baru itu, kata Fakhri, sudah dalam tahap pembangunan ketika dia masuk Pesantren Al Khoziny, dua tahun yang lalu. ”Waktu masuk, yang lantai satu sudah ada. Terus dalam proses pembangunan yang lantai dua,” sambung remaja 14 tahun yang bercita-cita jadi pemain bola itu.
Setelah ambruk, mereka yang berada di musala depan meloloskan diri dari reruntuhan dengan membongkar tumpukan runtuhan yang berada di samping kiri musala lama. Saat proses meloloskan diri itu, dia menyaksikan beberapa temannya yang mengalami luka berat. Termasuk salah satu yang menjadi korban tewas pertama. ”Setelah lolos, langsung kami dibawa naik ambulance ke RS,” ujar dia.
Di dalam ambulance ada tiga teman yang lain. Salah satunya mengalami luka parah di bagian kepala. “Darah mengucur tidak henti,” ceritanya. Fakhri bersyukur dia hanya mengalami luka ringan. Saat wawancara pada Selasa (21/10) di tangannya terlihat masih ada sisa luka yang baru kering.
Nur Ahmad Rahmatulloh
Nur Ahmad. Foto : NET
Salah seorang korban luka ambruknya musala Pondok Pesantren Al Khoziny, Sidoarjo, Senin (29/9), Nur Ahmad Rahmatulloh hingga saat ini masih beradaptasi. Ahmad adalah santri ponpes Al Khoziny yang saat insiden ambruknya musala, lengan kirinya harus diamputasi di tempat oleh tim yang dipimpin dr. Larona Hydravianto, Sp. OT (K), Spine, M.Kes.
| Baca Juga : Fakta-fakta di Balik Runtuhnya Bangunan Ponpes Al Khoziny Sidoarjo
Saat ditemui di rumahnya di Jalan Cantian Tengah IV, Simokerto, Surabaya, Selasa (21/10) lalu, dia tengah memainkan ponselnya. Remaja berusia 16 tahun itu tidak banyak berbicara. Melalui ibunya, Imamatul Mutiah, dipaparkan jika saat ini sudah mulai beradaptasi.
”Sudah dua kali kontrol ke rumah sakit. Sekarang dia sudah beradaptasi dengan tangannya. Makan pun sendiri,” kata Imamatul Mutiah di rumahnya.
Wanita yang biasa disapa Muti itu menceritakan bagaimana kejadian itu berdasarkan cerita putranya. ”Sore itu Ahmad salat Ashar, tidak ada firasat apa-apa. Tapi saat rakaat ke dua, musalanya mendadak runtuh. Ahmad yang di shaf tengah, tidak bisa melarikan diri,” kata Muti. ”Tangan kirinya langsung tertimpa beton,” lanjutnya.
Tidak Berdaya
Ahmad masih mengingat detik-detik menegangkan itu. Dalam gelap dan debu, dia hanya bisa tertelungkup di bawah reruntuhan, menahan sakit luar biasa. Dia tidak tahu siapa saja di sekitarnya, hanya suara-suara samar dan jeritan meminta tolong. Hingga akhirnya ia mendengar suara petugas evakuasi.
”Saya berteriak minta tolong waktu itu,” kata Ahmad sambil memegang ponsel di tangan kanannya. Dia diamputasi di tempat dan menjalani operasi lanjutan di RSUD R.T. Notopuro, Sidoarjo.
Setelah dirawat beberapa hari, dia diperbolehkan pulang dan menjalani rawat jalan. Luka di bagian luar memang sudah mengering, namun dia masih merasakan nyeri di dalam.
Muti sendiri mendengar kejadian itu dari grup WhatsApp wali santri. Dia dan keluarga bergegas berangkat ke pondok anaknya. ”Tapi sesampainya di sana, Ahmad tidak ada. Kami cari ke beberapa rumah sakit, tetap tidak ketemu. Akhirnya, kami hanya bisa menunggu di sekitar lokasi,” kenang Muti.
Hingga akhirnya, pada hari yang sama, Ahmad ditemukan dan dilarikan ke rumah sakit. Namun di sana, Muti justru mendapat kabar yang menjadi pukulan berat baginya.
”Saya baru tahu kalau Ahmad diamputasi di tempat kejadian. Setelah dengar itu, saya syok banget, rasanya mau pingsan. Nggak berdaya,” ucapnya.
Jangan ketinggalan berita terbaru dan kisah menarik lainnya! Ikuti @Nyata_Media di Instagram, TikTok, dan YouTube untuk update tercepat dan konten eksklusif setiap hari.
Tags:Al Khoziny Ponpes Sidoarjo