Kemauan belajar Jang Ik-sun mengalahkan keterbatasannya sebagai penderita Muscular Dystrophy (MD). Penyakit genetik langka yang merusak dan melumpuhkan seluruh otot di tubuh. termasuk otot pernafasan, bicara, menelan dan bahkan jantung.
Meski kini sekujur tubuhnya lumpuh total, termasuk otot pernafasan, bicara dan menelannya, sehingga dia hanya bisa berkedip, namun lajang 37 tahun itu berhasil menyelesaikan studi pasca sarjana (S-2)nya di Gwangju University, Korea Selatan.
Dan 21 Februari lalu dia diwisuda bersama wisudawan-wisudawan lain prodi Kesejahteraan Sosial, tahun ajaran 2024.
Di acara bergengsi itu, Jang tak hanya diwisuda sebagai magister bidang Kesejahteraan Sosial. Tetapi juga menerima penghargaan khusus dari Presiden Gwangju University, untuk upayanya yang luar biasa dalam menyelesaikan studi S-2nya sehingga lulus tepat waktu, dengan nilai excellent.
| Baca Juga: Curhat Para Ibu Korban Parental Abduction: Jalan Panjang Demi Bertemu Anak
Penghargaan itu juga untuk tesisnya yang dinilai sangat amat bagus, karena topik penelitian yang istimewa, yakni tentang penderita penyakit genetik MD. Sama dengan dirinya.
Analisanya dalam tesis itu juga dinilai sangat bagus dan bisa diterapkan. Maklum dia dan subyek penelitiannya sependeritaan.
Proses Berat

Jang Ik-sun raih gelar Master (S2). (Foto: Dok. Pri)
Jang Ik-sun memang layak mendapatkan semua penghargaan itu. Proses yang dia lalui untuk mendapatkan semua hasil itu sangat berat. Orang normal pun belum tentu sanggup melakukannya. Apalagi seseorang dengan keterbatasan fisik yang maksimal seperti Jang itu.
Pria muda ini bukan seorang difabel yang hanya berdiam di rumah. Pagi hingga sore hari dia bekerja sebagai karyawan, di Asosiasi Muscular Dystrophy Gwangju.
| Baca Juga: Barber Tertua, Shitsui Hakoisi Raih Guinness World Records
Pulang kerja, dia langsung berangkat ke kampus. Kebetulan kuliahnya prodi Kesejahteraan Sosial yang diambil Jang, diselenggarakan pada malam hari.
Pulang kuliah, dia mulai membaca buku-buku yang terkait mata kuliah dan rencana penelitiannya secara digital. Masalahnya tak semua buku itu ada edisi elektroniknya. Sehingga Jang harus lebih dulu men-scan agar bisa dibaca di layar komputer. Untung dia punya asisten pribadi, yang tugasnya menyiapkan dan membantu men-scan buku-buku yang tidak ada edisi e-book-nya.
“Men-scan buku adalah pekerjaan yang melelahkan. Apalagi kalau banyak. Masalahnya, saya tak punya pilihan. Hanya edisi digital yang bisa saya baca karena tangan saya tak bisa lagi memegang apa pun,” ungkapnya dalam pidato pendeknya saat wisuda.
Jang memang masih bicara. Tetapi sangat lirih dan terbata-bata. Sebab otot yang memungkinkannya bicara sudah sangat lemah. Sementara nafasnya bergantung penuh pada ventilator portabel di ranjang khususnya, yang berfungsi seperti kursi roda. Karena harus dia gunakan ke mana pun dia pergi. Termasuk saat masuk kelas untuk kuliah, dan bekerja. Atau melakukan kunjungan kepada penderita MD dan keluarga yang membutuhkan dukungan Jang.
| Baca Juga: Jacob Cass, Pria AS Kolektor Ribuan Arsip Sejarah Indonesia
Selain harus men-scan Ilebih dulu buku-buku yang diperlukan, jang harus harus mengingat poin-poin pentingnya. Sebab dia tak bisa mencatat atau menandai bagian-bagian itu.
Meski sangat melelahkan, Jang tak mau menyerah. Itulah yang membuatnya sering harus belajar hingga menjelang dinihari. Padahal pagi harinya dia harus berangkat kerja.
Di Atas Wajah
Sudah belasan tahun, ternyata Jang hanya bisa berbaring. Terpaku di ranjang khususnya bersama alat bantu nafas dan oksigen. Sejak itu dia tak bisa lagi mengoperasikan komputernya.
Agar dia tetap bisa melakukan aktifitasnya, seperti membaca dan mengunggah konten-konten kanal Youtube dan akun medsosnya, maka monitor dan seluruh perangkat komputernya tak hanya harus dipindah posisikan. Tapi juga harus diubah teknologi.
“Saya bersyukur ada teknologi digital yang memungkinkan saya mengetik dan menggeser kursor menggunakan kedipan mata. Itu sangat membantu. Terutama selama saya kuliah,” tulisnya di medsos.
| Baca Juga: Perjuangan Profesor Richard Scolyer Melawan Kanker Otak
Dengan cara itulah Jang mengutip bagian-bagian dari e-book yang perlu dia kutip sebagai literatur untuk skripsi dan tesisnya. Dan mengetik dan menyusun bahan-bahan itu hingga menjadi skripsi dan tesis, sebagaimana bikinan mahasiswa yang fisiknya normal.
10 Juta Kedipan
Seperti halnya jari-jari kita, tiap kedipan mata Jang juga hanya bisa mengetik satu huruf. Sehingga bisa dibayangkan lelahnya mata Jang yang harus berkedip ratusan ribu, atau bahkan jutaan kali agar huruf-huruf itu bisa tersusun menjadi kalimat berhalam-halaman. Yang bisa disusun sebagai sebuah skripsi dan tesis.
“Karena itu saya menjuluki diri saya di kanal YouTube saya: Pria dengan 10 Juta Kedipan,” ungkapnya.
Sebanyak itukah dia mengedip untuk penyusunan tesisnya? Ternyata tidak. “Saya tidak menghitung berapa banyak saya berkedip untuk tesis itu,” jelasnya. Lantas julukan itu apa artinya?
“Saya ingin menceritakan kepada viewers dan subscribers kanal saya. Bahwa kedipan mata tak hanya bisa digunakan untuk mengetik, tetapi juga bermain game. Dan itulah yang kini sedang saya lakukan. Bermain game menggunakan kedipan mata,” jelas pemilik 7.500 subscribers di YouTube itu.
Kisah selengkapnya baca di Tabloid Nyata Cetak edisi 2799, minggu ke III, Maret 2025
Tags:Gwangju University Jang Ik-sun Penderita Muscular Dystrophy Raih Master raih S2