Cukup lama Motorola jadi industri kebanggaan Amerika dalam bidang telekomunikasi. Bahkan, suara astronot Neil Armstrong dari permukaan bulan diterima oleh para manusia di bumi lewat piranti merek ini. Motorola juga jadi pionir pengembangan ponsel untuk pasar umum—tadinya khusus militer. Pada dekade 1980an, hanya orang tertentu yang mampu pakai DynaTac, ponsel buatan Motorola yang seukuran batu bata. Maklum, harganya kira-kira 100an juta rupiah untuk nilai uang sekarang.
Ketika ponsel mulai memasyarakat, Motorola mengandalkan seri StarTac yang berdesain flip. Cukup disukai, tapi masih kalah dibandingkan Nokia. Sepanjang era ponsel “tidak pintar”, serta memasuki era Android, Motorola jadi produsen papan tengah. Motorola beruntung tidak sampai seterpuruk Nokia.
Tapi, persaingan dalam industri ponsel cukup keras. Merek pendatang baru terus berdatangan. Sementara banyak pegawai penting Motorola dibajak oleh para perusahaan saingan. Motorola pun mengalami kesulitan keuangan, lalu perusahaan ini dijual kepada Google. Dari tangan Google, Motorola kemudian dijual lagi kepada Lenovo. Sekadar info, Lenovo adalah merek baru setelah IBM—perusahaan komputer kebanggaan Amerika—diambil alih oleh perusahaan asal RRC.
Dalam naungan Lenovo, lagi-lagi Motorola jadi merek papan tengah. Tapi, kini Motorola mengincar dominasi global yang dulu pernah digenggamnya. Mereka berusaha jadi pionir inovasi baru berupa ponsel modular. Ponsel jenis ini bagian belakangnya bisa dilepas, dan diganti-ganti berdasarkan fungsi yang diinginkan. Artinya, bisa dipasangi kamera lengkap dengan zoom optikal, atau pengeras suara berkualitas tinggi, atau proyektor mini, atau baterai cadangan yang berkapasitas besar. Proyek ini dinamai Moto Z.
Apakah ponsel modular akan jadi tren baru, bakal menentukan masa depan Motorola. Tapi, pionir memang punya kesempatan meraup untung. Sebagaimana Samsung pada awal era Android. Atau Motorola sendiri di zaman dulu, ketika memegang ponsel masih seperti mengangkat barbel.
Blackberry
Ponsel Blackberry generasi awal.
Tintung tintung… begitu bunyi ketika pesan BBM masuk. Ponsel Blackberry pernah jadi lambang status bagi masyarakat Indonesia. Bapak-bapak kantoran, ibu-ibu arisan, hingga anak-anak sekolah, sengaja bawa ponsel merek ini sekadar untuk pamer. Blackberry juga menandai pergeseran budaya, dari menelepon jadi lebih sering komunikasi tertulis—lengkap dengan bahasa alay-nya, hahaha…
Kiprah awal Blackberry agak berbeda dengan Motorola dan Nokia. Merek ini awalnya berkecimpung dalam bisnis pager (radio panggil) dua arah. Berbeda dengan pager konvensional, para pelanggan bisa langsung saling berkirim pesan, tanpa harus menelepon operator. Baru beberapa tahun kemudian Blackberry menyertakan fasilitas menelepon bagi pirantinya.
Blackberry cenderung bercitra serius, ponsel bagi kaum eksekutif. Mereka mengabaikan tren yang dibawa oleh Android, bahwa ponsel digunakan untuk memotret atau bermain video game. Sikap ini ternyata fatal. Para eksekutif yang jadi pasar utama Blackberry pun jadi tertarik ponsel Android untuk have fun. Sementara hadirnya aplikasi Whatsapp dan Facebook Messenger menggerus popularitas BBM andalan Blackberry. Merek asal Kanada inipun nyaris kolaps.
Mereka sempat merilis ponsel premium Blackberry Priv, yang—akhirnya—menggunakan sistem operasi Android. Setelah itu, merek Blackberry dijual ke beberapa pihak. Misalnya ke TCL, perusahaan asal RRC, yang berwenang menjual ponsel bermerek Blackberry ke hampir seluruh dunia. Juga ke perusahaan lokal sejumlah negara tertentu, termasuk Indonesia.
Di Indonesia, merek Blackberry dikuasai oleh Tiphone, anak perusahaan Telkom Indonesia. Mereka dulu pernah membuat beberapa ponsel murah meriah, bersaing dengan Cross (kini Evercoss), Mito, Nexian, dan merek-merek lokal lainnya. Kini, mereka membentuk perusahaan baru BB Merah Putih yang menangani ponsel Blackberry.
Tags:Blackberry Motorola Nokia Ponsel