By: Padnya
21 April 2025

| Baca Juga: Kisah Unik Wanita Penerima Transplantasi Rahim Pertama Melahirkan

Sastia sudah memulai riset tempe sejak delapan tahun lalu, tepatnya 2017. Awlanya dia melakukan pemetaan diversitas tempe di enam daerah di Indonesia. Termasuk mengumpulkan tempe-tempe dari Malang hingga Purwokerto.

Itu dilakukan untuk melihat perbedaan keunggulan serta ciri khas tempe dari sisi sains. Dari situ, Sastia lantas membandingkan antara tempe Indonesia dan Jepang.

Tempe Jepang itu kedelainya lebih kelihatan dan besar-besar, sedangkan tempe di Indonesia kedelainya itu biasanya tertutup dengan jamur hasil fermentasinya. Proses produksi tempe di Jepang itu cepat karena di proses perendaman ditambahi cuka. Rasa tempe Jepang lebih hambar. Cita rasanya nggak sekuat tempe Indonesia,” paparnya.

Berbekal data-data tersebut, Sastia membawa penelitian itu ke Amerika Serikat (AS) tahun 2022. Dia berkolaborasi dengan para peneliti ternama dari Harvard Medical School. Mereka saling berdiskusi dan bertukar data penelitian selama satu bulan.

Tahapan penelitian yang panjang itu rampung tahun 2024. Outputnya berupa makalah berjudul Multidisciplinary approach combining food metabolomics and epidemiology identifies meglutol as an important bioactive metabolite in tempe, an Indonesian fermented food.

Kajian itu membawa Sastia masuk nominasi Ando Momofuku Award 2024 setelah namanya diajukan Presiden Osaka University, Shojiro Nishio. Penghargaan itu akhirnya dia terima pada 13 Maret 2024 di Hotel New Otani Japanese Garden.

| Baca Juga: Cerita Pilu Penyintas Sirkus di Balik Panggung Oriental Circus

Sejak kecil Sastia sudah tertarik dengan dunia sains. Namun saat itu dia belum terpikir untuk mendalami profesi sebagai ilmuwan. Lulus dari Jurusan Biologi Institute Teknologi Bandung (ITB) 2004, Sastia mendapatkan beasiswa UNESCO Postgraduate Inter-University Course in Biotechnology dari pemerintah Jepang dan UNESCO selama satu tahun.

Di sana Sastia dibimbing Profesor Nihira, seorang ahli produksi antibiotik dan mikroba ternama di Jepang.

Tahun 2005, Sastia bekerja sebagai asisten riset Biologi di Laboratorium Swiss-German University. Satu tahun kemudian, dia melanjutkan studi S2 Jurusan Bioteknologi di Osaka University dan jenjang S3 tahun 2008 dengan beasiswa dari pemerintah Jepang. Di kampus itu, dia sempat menjadi asisten profesor di Departemen Bioteknologi.

Pada 2022, Sastia diangkat menjadi Associate Professor Independen. Jabatan itu memberinya keuntungan bisa memiliki lab sendiri yang kini bernama Sastia Putri Lab. Di lab itu, dia tidak hanya melakukan riset namun juga mengajar 18 mahasiswa, yang tujuh di antaranya mahasiswa S3.

Tags:

Leave a Reply