Selain itu setiap episode peradangan bisa merusak bagian-bagian mata secara bertahap. Dan bila sudah kronik, struktur mata bisa rusak parah, penglihatan bisa sangat terganggu.
“Uveitis bukan sekadar peradangan mata biasa. Banyak penyandangnya yang minim mengalami gejala dini. Ketidaktahuan yang membuat pasien kerap terlambat memeriksakan matanya. Banyak pasien yang datang saat satu mata sudah buta, dan baru sadar bahwa mata satunya mulai terancam juga. Padahal, kalau datang lebih awal, bisa kita selamatkan,” jelas Dr. Eka.
Bagaimana Pengobatannya?
Dikatakan Dr. Eka, Pengobatan uveitis harus disesuaikan dengan penyebabnya dan tingkat keparahan.
“Dokter mata akan melakukan berbagai pemeriksaan, termasuk pemeriksaan darah, radiologi, hingga pemeriksaan kekebalan tubuh,” ujarnya.
Pengobatan bisa meliputi:
– Tetes mata antiinflamasi (steroid)
– Obat minum atau suntik untuk menekan peradangan
– Antibiotik, antivirus, atau antijamur jika penyebabnya infeksi
– Obat imunosupresan untuk autoimun
– Tindakan operasi seperti vitrektomi atau operasi katarak jika sudah terjadi komplikasi
| Baca Juga: 10 Gejala Awal Alzheimer yang Sering Terabaikan
Kapan Harus ke Dokter?
Ditegaskan Dr. Eka, jangan tunggu sampai penglihatan kabur atau mata terasa sangat sakit. Segera konsultasikan ke dokter mata jika Anda mengalami:
– Mata merah tanpa sebab yang jelas
– Nyeri saat melihat cahaya
– Pandangan buram, berbayang, atau seperti tertutup kabut
– Gejala berulang
– Memiliki riwayat autoimun, HIV, TB, atau infeksi menular seksual.
“Ingat, mata kita hanya dua. Kalau satu rusak, hidup kita bisa berubah. Jangan tunggu sampai terlambat,” tegas Dr. Eka.
Dr. Eka sangat menyayangkan karena masih banyak orang yang mengobati mata merah dengan air sirih, air garam, atau tetes mata warung. “Padahal, jika peradangan terjadi di dalam mata (seperti uveitis), pengobatan seperti ini justru bisa memperparah kondisi mata,” tandasnya.
Tags:Kurang Tidur Mata Merah Uveitis