By: Azharul Hakim
18 September 2025

NYATA MEDIA — Nicole Tung baru saja dinobatkan sebagai pemenang Carmignac Photojournalism Award 2025. Itu adalah penghargaan bergengsi yang diberikan untuk karya jurnalisme foto investigatif bertema hak asasi manusia dan isu geostrategis.

Penghargaan ini menegaskan posisinya sebagai salah satu jurnalis foto paling berpengaruh saat ini, dengan karya yang melampaui batas medan perang. Lahir di Hong Kong dan kini bermukim di Istanbul, Turki, perempuan kelahiran 1986 itu telah menjadi saksi berbagai konflik besar dunia.

Nicole Tung meliput revolusi Libya yang menggulingkan Muammar Gaddafi pada 2011, menyusul perang di Syria sejak 2012, hingga runtuhnya rezim Bashar al-Assad pada 2024.

Ia juga merekam konflik di Ukraina, kamp pengungsi di Yordania, serta protes Arab Spring di Mesir, dan demonstrasi pro-demokrasi di tanah kelahirannya. Kekacauan, kehilangan, dan secercah harapan tergambar dalam jepretan lensanya.

| Baca Juga : Dava Adila Syuaib, Lulus Sarjana Kedokteran Sebelum Usia 20

Namun, karya terbaru yang mengantarkannya meraih penghargaan Carmignac justru menyorot “perang” lain. Konflik antara manusia dan laut. Selama sembilan bulan, Nicole mendokumentasikan dampak perikanan industri dan penangkapan ikan ilegal di Asia Tenggara. Karyanya kini dipamerkan dalam festival Visa pour l’Image di Paris, Prancis, hingga 14 September.

Hasil jepretan Nicole Tung. Foto : Dok. Pri

Hasil jepretan Nicole Tung. Foto : Dok. Pri

Perang di Laut

Nicole menghabiskan 9 bulan untuk mendokumentasikan pelanggaran HAM dan kerusakan lingkungan akibat penangkapan ikan ilegal di Thailand, Filipina, dan Indonesia. Tiga negara yang menjadi titik panas dalam industri perikanan global.

Nominator Penghargaan Pulitzer untuk Fotografi Berita itu merekam kondisi buruh migran di kapal-kapal penangkap ikan, perburuan hiu untuk konsumsi kosmetik, dan obat tradisional di HK dan China. Serta, bagaimana nelayan lokal kehilangan mata pencaharian karena dominasi kapal asing, termasuk dari China.

| Baca Juga : Mengenang Arti Wibowati, Konten Kreator Jember Tewas dalam Tragedi Kecelakaan Bus di Bromo

”Banyak orang tidak tahu bahwa hanya seperempat dari hasil tangkapan laut yang benar-benar dikonsumsi. Sisanya adalah by-catch, hasil tangkapan yang tidak diinginkan tapi ikut terbawa,” ungkap Nicole. “Ini sangat merusak ekosistem laut, terutama dengan metode seperti bottom trawling yang menyeret jaring berat di dasar laut.”

Lensa & Etika

Ketertarikan Nicole pada foto jurnalistik bermula dari hadiah kamera Leica dari sang kakek saat ia berusia 15 tahun. Dari memotret konser musik bawah tanah di HK. Kemudian Nicole melangkah jauh. Ke Bosnia saat remaja untuk melihat langsung sisa-sisa perang saudara.

”Di sana saya bertemu para janda korban pembantaian Srebrenica yang masih tinggal di kamp pengungsi. Saya menyadari kekuatan dari mendengarkan dan mendokumentasikan kisah mereka,” katanya.

| Baca Juga : Kisah Pilu Yu Menglong, Niat Membahagiakan Ibu Berakhir Tragis

Bagi Nicole, mendokumentasikan kenyataan konflik bukan sekadar pekerjaan, tapi bentuk tanggung jawab moral. Ia percaya kekuatan fotografi mampu menembus kebosanan dan kejenuhan publik terhadap kekerasan yang terus muncul di layar.  ”Kita melihat begitu banyak kengerian di berita dan media sosial, tapi saya pikir kekuatan fotografi bisa menembus apati dan membuat orang kembali peduli,” ujarnya.

Bukan Sekadar Perempuan

Sebagai perempuan di zona perang, Nicole kerap mendapat perhatian lebih. Namun ia tak terlalu memikirkannya. ”Saya tak datang sebagai perempuan jurnalis, tapi sebagai jurnalis,” tegasnya. Ia percaya pada sikap profesional dan kewaspadaan sebagai kunci keselamatan.

Ia juga tak menutup mata terhadap rasa bersalah dan frustrasi yang kadang muncul. ”Kita tidak bisa langsung membantu orang yang sedang menderita, tapi saya berharap gambar-gambar itu bisa membuka mata dunia. Foto memang tidak menghentikan perang, tapi ia bisa memantik perubahan.”

| Baca Juga : Naksir dari SD, Begini Kisah Cinta Tasya Farasya dan Ahmad Assegaf

Untuk Masa Depan

Dalam medan yang penuh dilema etika, Nicole mengandalkan naluri dan kepekaan sebagai kompas utama. ”Sering kali kita harus mengambil keputusan dalam hitungan detik. Biasanya, itu soal percaya pada insting dan tahu bahwa sesuatu layak didokumentasikan—tapi harus dilakukan dengan sangat sensitif,” tegasnya.

Dengan kamera sebagai senjatanya, Nicole Tung terus menjadi suara dari mereka yang tak terdengar. Entah di reruntuhan kota pascaperang atau di pelabuhan kecil Asia Tenggara, ia terus memotret kenyataan dengan empati, kejujuran, dan keberanian. (bbs/tia)

Jangan ketinggalan berita terhangat lainnya di Tabloid Nyata Cetak! Setiap minggunya, kami hadir dengan edisi terbaru yang penuh dengan kisah eksklusif, berita selebriti terkini, dan cerita inspiratif.

Dapatkan Tabloid Nyata Cetak dengan mudah! Klik link di sini untuk pemesanan via marketplace. (*)

Tags:

Leave a Reply