By: Azharul Hakim
18 September 2025

Lensa & Etika

Ketertarikan Nicole pada foto jurnalistik bermula dari hadiah kamera Leica dari sang kakek saat ia berusia 15 tahun. Dari memotret konser musik bawah tanah di HK. Kemudian Nicole melangkah jauh. Ke Bosnia saat remaja untuk melihat langsung sisa-sisa perang saudara.

”Di sana saya bertemu para janda korban pembantaian Srebrenica yang masih tinggal di kamp pengungsi. Saya menyadari kekuatan dari mendengarkan dan mendokumentasikan kisah mereka,” katanya.

| Baca Juga : Kisah Pilu Yu Menglong, Niat Membahagiakan Ibu Berakhir Tragis

Bagi Nicole, mendokumentasikan kenyataan konflik bukan sekadar pekerjaan, tapi bentuk tanggung jawab moral. Ia percaya kekuatan fotografi mampu menembus kebosanan dan kejenuhan publik terhadap kekerasan yang terus muncul di layar.  ”Kita melihat begitu banyak kengerian di berita dan media sosial, tapi saya pikir kekuatan fotografi bisa menembus apati dan membuat orang kembali peduli,” ujarnya.

Bukan Sekadar Perempuan

Sebagai perempuan di zona perang, Nicole kerap mendapat perhatian lebih. Namun ia tak terlalu memikirkannya. ”Saya tak datang sebagai perempuan jurnalis, tapi sebagai jurnalis,” tegasnya. Ia percaya pada sikap profesional dan kewaspadaan sebagai kunci keselamatan.

Ia juga tak menutup mata terhadap rasa bersalah dan frustrasi yang kadang muncul. ”Kita tidak bisa langsung membantu orang yang sedang menderita, tapi saya berharap gambar-gambar itu bisa membuka mata dunia. Foto memang tidak menghentikan perang, tapi ia bisa memantik perubahan.”

| Baca Juga : Naksir dari SD, Begini Kisah Cinta Tasya Farasya dan Ahmad Assegaf

Untuk Masa Depan

Dalam medan yang penuh dilema etika, Nicole mengandalkan naluri dan kepekaan sebagai kompas utama. ”Sering kali kita harus mengambil keputusan dalam hitungan detik. Biasanya, itu soal percaya pada insting dan tahu bahwa sesuatu layak didokumentasikan—tapi harus dilakukan dengan sangat sensitif,” tegasnya.

Dengan kamera sebagai senjatanya, Nicole Tung terus menjadi suara dari mereka yang tak terdengar. Entah di reruntuhan kota pascaperang atau di pelabuhan kecil Asia Tenggara, ia terus memotret kenyataan dengan empati, kejujuran, dan keberanian. (bbs/tia)

Tags:

Leave a Reply