By: Farah Yumna
18 September 2025

NYATA MEDIA — Nama Didik Nini Thowok sudah menjadi ikon dalam dunia tari Indonesia.

Lahir di Temanggung, 13 November 1954, seniman ini dikenal lewat tarian lintas budayanya yang kerap dibumbui unsur humor dan teatrikal.

Di balik gerak lemah gemulainya di panggung, siapa sangka ia pernah menjalani peran yang tak banyak diketahui: dukun manten atau pemaes pengantin.

Peran ini bukan sekadar untuk seni peran. Didik benar-benar pernah melakukannya di dunia nyata, jauh sebelum tampil sebagai dukun manten dalam film ‘Perempuan Pembawa Sial’ karya Fajar Nugros.

| Baca Juga : Didik Nini Thowok Bintangi Film Horor ‘Perempuan Pembawa Sial’

“Saya enggak perlu riset lagi, karena memang pernah jadi dukun manten,” ujarnya sambil tersenyum saat ditemui di Jakarta, Rabu (10/9).

Kedekatan Didik dengan budaya Jawa sudah tumbuh sejak kecil.

Saat kuliah di Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) Yogyakarta pada 1970-an, ia bukan hanya belajar tari. Tapi juga mendalami filosofi budaya, termasuk tata rias dan upacara adat pernikahan. Didik belajar langsung dari para empu di Keraton Yogyakarta.

“Kursus manten, apalagi yang spesialis merias pengantin Jawa, sangat terbatas. Jadi saya harus belajar langsung pada para maestro,” tuturnya.

Ia menguasai detail rias paes, busana, hingga doa-doa ritual yang sakral. Salah satu ritual yang ia ingat adalah sembogo, meniupkan asap rokok ke ubun-ubun calon pengantin sambil melafalkan mantra khusus untuk membuka aura kecantikan.

| Baca Juga : Ikuti Lathi Challenge, Aksi Maestro Didik Nini Thowok Langsung Trending

“Saya juga belajar mantra dari tembang-tembang kuno seperti Smaradahana. Tapi ya, kalau soal mantranya, maaf, saya tidak bisa ungkapkan di sini,” ujarnya sembari terkekeh.

Profesi ini, menurut Didik, tak bisa dijalani sembarangan. Seorang dukun manten harus menjalani puasa tiga hari untuk menenangkan diri, dan menyiapkan sesajen seperti jenang merah putih hingga tumpeng robyong.

Semuanya memiliki makna filosofis. “Dulu saya kuat. Tapi sekarang, ya sudah enggak kuat puasa lagi,” katanya jujur.

Pemilik nama asli Kwee Tjoen An itu juga sempat mengikuti berbagai lomba dan rajin menjuarai lomba rias pengantin tingkat Yogyakarta.

Itu bikin antrean calon pengantin yang ingin dirias olehnya cukup panjang. Namun, kesuksesan itu justru memicu kecemburuan dari kalangan perias wanita.

| Baca Juga : Joe Taslim Lakukan Koreografi Paling Kompleks di Film ‘The Furious’

Di tengah popularitasnya, muncul aturan tak tertulis: laki-laki dilarang merias pengantin perempuan.

“Saya pikir, daripada ribut, ya saya mundur saja. Lagipula, memang hati saya sudah condong ke tari,” ujarnya.

Salah satu sahabatnya bahkan sempat berkata, “Mas Didik, nari bisa, merias bisa. Tapi jangan diambil semua rejekinya ibu-ibu. Fokus saja di tari.” Kalimat itu, katanya, menjadi titik balik.

Didik mulai serius di dunia tari sejak kuliah di ASTI. Ia mendalami tari klasik Jawa, lalu memperluas wawasan ke mancanegara.

| Baca Juga : Cara Benar Mencuci Pakaian Olahraga

Tahun 1978, ia belajar tari Bugaku dan Noh di Jepang, lalu tari klasik Thailand pada 1982, dan tari Kathak di India pada 1985.

Dari pengalaman itu, ia menciptakan gaya pertunjukan unik: perpaduan topeng, humor, dan ekspresi wajah yang memikat.

Tarian khasnya seperti double mask dance (tari dua wajah) telah tampil di berbagai panggung dunia.

“Menari itu seperti akting. Bedanya, tak ada dialog. Semua harus disampaikan lewat tubuh. Justru itu yang menantang dan membuat saya jatuh cinta,” pungkasnya. (*)

Jangan ketinggalan berita terbaru dan kisah menarik lainnya! Ikuti @Nyata_Media di InstagramTikTok, dan YouTube untuk update tercepat dan konten eksklusif setiap hari.

Tags:

Leave a Reply