Stunting pada anak masih menjadi permasalahan besar di Industri kesehatan. Pasalnya, berdasarkan data hingga saat ini angka stunting di Indonesia masih terbilang tinggi, yakni 24,4 persen. Hingga menimbulkan pertanyaan mengapa penurunan angka stunting di Indonesia masih terhambat. Apakah masyarakat masih tidak mengetahui tentang stunting, atau adanya kendala lainnya?
Health Collaborative Center (HCC) menyatakan bahwa masyarakat dinilai sudah mengetahui stunting (gizi buruk), tetapi belum memahami sepenuhnya ancaman kesehatan dan dampak buruk bagi masa depan anak.
“Meski pemerintah gencar memprioritaskan penanganan stunting, tetapi pemahaman masyarakat terhadap isu ini tampaknya belum memadai,” kata Ray Wagiu Basrow, Peneliti Utama dan Chairman HCC di Jakarta, Selasa (14/12).
HCC melakukan penelitian dalam periode September-November 2022 dengan menggunakan metode Health Belief Model (HBM), cross–sectional beserta koleksi data simultan dan survey kuesioner online waktu terbatas. Analisis penelitian dilakukan secara deskriptif dan analisis univariate serta critical appraisal untuk aspek perspektif subjek. Sebanyak 1.676 responden bersedia mengikuti survei dan berasal dari 31 provinsi.
|Baca Juga: 3 Cara Membantu Anak Atasi Perubahan
Dalam penelitian HCC tersebut ditemukan bahwa dampak upaya pemerintah dalam menggencarkan edukasi stunting mulai terasa. Terbukti dengan 95% responden mengaku mengetahui stunting dan 98% di antaranya percaya bahwa stunting terjadi di Indonesia. Bahkan 65% masyarakat percaya stunting berkaitan erat dengan kehidupan keluarga.
Sebanyak 54,5% percaya stunting disebabkan oleh asupan makanan dan minuman yang diberikan pada anak, serta 52% lainnya menyatakan stunting terjadi karena keluarga tidak mampu membelikan makanan bergizi.
“Persepsi masyarakat tersebut, juga dibuktikan dengan pemahaman masyarakat bahwasanya penyebab utama terjadinya stunting adalah pola makan, kemiskinan dan pengetahuan terkait stunting,” kata Ray.
Sayangnya, dalam penelitian juga ditemukan bahwa 62% masyarakat tidak mempercayai stunting disebabkan pola asuh orang tua kepada anak. Rupanya, dari hasil studi ditemukan masyarakat hanya mengetahui hal-hal dasar saja mengenai stunting. Dokter Ray mengatakan, masyarakat hanya mengetahui tentang stunting tetapi tidak dengan pemaknaannya.
Ia menambahkan, masyarakat masih belum sepenuhnya percaya dampak dari stunting kepada anak, meskipun menyebut kondisi ini berbahaya. Bahkan, ada beberapa pemaknaan masyarakat yang berbeda dari teori. Lalu apa saja pemaknaan yang salah tersebut? Berikut ulasannya.
- 5 dari 10 orang masih tidak percaya dan kurang setuju kalau stunting menghambat kognitif anak. Padahal, dari teori dan penelitian menyebutkan kalau stunting memberikan dampak negatif pada kognitif anak sehingga membuatnya menjadi lambat berpikir.
- 4 dari 10 masih tidak setuju stunting disebabkan karena kurang nutrisi dan makanan. Padahal, stunting sendiri dapat menjadi tanda kalau gizi anak tersebut belum terpenuhi dengan baik.
- 6 dari 10 tidak yakin kalau stunting berhubungan dengan pola asuh. Padahal, pola asuh sangat memengaruhi tumbuh kembang anak. Hal ini juga berkaitan dengan pemenuhan gizi anak tersebut serta kognitifnya.
- 5 dari 10 percaya kalau risiko stunting bukan karena ketidakmampuan membeli pangan. Padahal, kondisi ekonomi yang buruk juga bisa menjadi pemicu stunting. Hal ini karena orang tersebut tidak dapat memenuhi kebutuhan gizi saat hamil dan setelah lahir.
- 4 dari 10 percaya kalau stunting bukan penyakit atau kondisi medis serius. Padahal, stunting merupakan kondisi medis yang memengaruhi tumbuh kembang anak. Hal ini juga akan memengaruhi kognitif yang buruk.
- 2 dari 10 tidak yakin bahwa stunting bisa berpengaruh bagi kondisi keluarga secara keseluruhan. Padahal, kondisi stunting dapat memengaruhi kondisi keluarga menjadi buruk.
|Baca Juga: Jadi Idola! Ini Alasan Kate Middleton Layak Jadi Panutan Para Ibu
Bahkan ketika dilakukan analisis lanjutan konsistensi antara pemaknaan stunting terhadap persepsi, keenam indikator yang salah kaprah itu, sejalan dengan perspective barrier dari responden. Sebanyak 22% responden tidak setuju bahwa stunting adalah ancaman kesehatan, 10% responden tidak setuju dampak stunting akan berat untuk anak dan negara, bahkan lebih dari 40% responden meyakini ancaman Covid-19 jauh lebih serius dibanding stunting.
Itulah beberapa pemaknaan yang salah di masyarakat sehingga menghambat penurunan angka stunting di Indonesia. Menanggapi masalah tersebut, mantan Menteri Kesehatan RI Periode 2014-2019, Nila Djuwita Moeloek, mengatakan, peningkatan pengetahuan masyarakat terhadap stunting itu sangat penting. Dengan begitu target pemerintah terkait penurunan angka stunting dapat terpenuhi.
“Peningkatan kapasitas pengetahuan kesehatan terkait stunting perlu mendapat perhatian lebih dari pemerintah dan semua pihak, agar target 14 persen penurunan stunting bisa tercapai,” jelas Nila.
Ray juga menyarankan agar pemerintah mulai memantapkan metode edukasi stunting dengan pembahasan yang sederhana, dan sebanyak mungkin menggunakan pola seperti edukasi protokol selama pandemi yang menggunakan kekuatan media sosial.
Tags:Dampak Buruk Stunting Stunting