
Tahun 1970, Ruth terlibat secara profesional dalam isu kesetaraan gender setelah ditunjuk untuk jadi moderator dalam diskusi panel mahasiswa tentang ‘kebebasan perempuan’. Tahun 1971, dia menerbitkan artikel hukum dan mengisi seminar soal diskriminasi gender.
Ia juga memutuskan untuk jadi bagian dari American Civil Liberities Union (ACLU), LSM yang bergiat di bidang advokasi hukum, cabang New Jersey. Kasus pertamanya Reed v. Reed berakhir dengan memuaskan.
Kasus ini diawali dengan undang-undang Idaho yang menunjuk laki-laki lebih berhak mengurus properti dan perkebunan dibanding perempuan. Keputusan tersebut dianggap tidak adil. Bahkan, Mahkamah Agung memutuskan kalau UU di Idaho tentang tata kelola properti itu tidak sah secara konstitusional karena mengandung diskriminasi gender.
| Baca juga: Si Jago Rayu Itu Kini Jadi Eksekutif Produser ‘Kajeng Kliwon’
Setelah itu, karier Ruth mulai melejit. Ia ditunjuk sebagai ‘komandan’ dari Women’s Right Project ACLU. Sejumlah kasus yang dikomandoi oleh Ruth berakhir memuaskan.
6. Ditunjuk Sebagai Hakim Mahkamah Agung

Tahun 1993, Presiden Bill Clinton menunjuk Ruth untuk jadi hakim Mahkamah Agung menggantikan hakim Byron White yang pensiun. Pemilihan Ruth ini berjalan lancar, senat menyetujui pencalonan itu dengan suara 96-3.
Ia adalah perempuan kedua yang duduk di kursi hakim MA, setelah Sandra Day O’Connor yang diangkat pada 1981. Ketika jadi hakim MA, Ruth terkenal aktif dengan argumen-argumen kritisnya.
Dia dianggap jadi anggota hakim Mahkamah Agung yang memiliki suara kuat soal kesetaraan gender, hak-hak pekerja, dan pemisahan antara gereja dan negara. Tahun 1999, ia mendapat penghargaan Thurgood Marshall dari American Bar Association atas kontribusinya terhadap kesetaraan gender dan hak-hak sipil.
7. Penyakit
Tags:Kisah Ruth Bader Ginsburg