By: Nadhirul
19 September 2020

Ruth mendapat beasiswa penuh saat kuliah di Universitas Cornell jurusan Ilmu Pemerintahan. Perempuan tersebut lulus pada tahun 1954. 

Dua tahun setelah itu, ia memutuskan untuk masuk Harvard Law School. Saat itu, diskriminasi gender mulai dirasakan oleh Ruth. Betapa tidak dari total 500 mahasiswa, hanya ada delapan mahasiswa perempuan.

Bahkan, para perempuan tersebut mendapat sinisme dari dekan karena dianggap mengambil posisi calon mahasiswa laki-laki yang memenuhi kualifikasi untuk masuk sekolah hukum. Meski begitu, Ruth tidak menyerah. Ia terus belajar dengan giat dan jadi mahasiswa yang unggul. Bahkan, ia akhirnya menjadi anggota perempuan pertama di Harvard Law Review.

Baca juga: Anak Dibunuh Remaja 15 tahun, Orangtua Korban Tidak Dendam

Ruth melanjutkan pendidikannya di Columbia Law School. Kala itu ia juga harus merawat putri pertamanya Jane, dan suaminya Martin Ginsburg yang menderita kanker testis. Meski dengan segala tantangan itu, Ruth berhasil jadi lulusan terbaik dari Columbia tahun 1959. 

4. Tantangan Mencari Pekerjaan

hakim-ruth-bader-ginsburg-1
Foto: Mahkamah Agung Amerika Serikat/TIME

Meski prestasinya bisa dibilang sempurna, namun tidak berarti Ruth memiliki jalan tanpa hambatan untuk dapat pekerjaan sebagai seorang pengacara. Lagi-lagi kesulitan ini didapatkannya karena Ruth adalah seorang perempuan dan ibu. 

Kala itu sangat sedikit perempuan yang menjadi pengacara di Amerika Serikat. Bahkan, hanya ada dua perempuan saja yang pernah jadi hakim umum. 

Tahun 1963, Ruth menjadi asisten profesor di Rutgers Law School. Saat itu, dekannya meminta Ruth untuk menerima gaji rendah karena suaminya sudah memiliki gaji yang tinggi. 

Kekhawatiran sempat mencekam hati Ruth saat hamil anak ke duanya, James pada tahun 1965. Ia bahkan sampai mencoba menyembunyikan kehamilannya dan memakai baju oversize karena khawatir kontraknya tidak akan diperbarui. 

5. Terlibat Secara Profesional dalam Perjuangan Kesetaraan Gender

Tags:

Leave a Reply