Gara-gara Podcast Deddy Corbuzier, Rabu (6/7), skandal pelecehan seksual yang dilakukan oleh Julianto Eka Putra, pendiri sekaligus pemilik Sekolah Selamat Pagi Indonesia (SPI) jadi ramai diperbincangkan.
Tidak hanya pelecehan seksual, para korban yang mulai berani bersuara itu, ternyata juga sempat mengalami eksploitasi ekonomi. Seperti yang pernah dialami Robet Betesda.
Nasib nahas dialami olehnya, yang merupakan salah satu alumni SMA Selamat Pagi Indonesia (SPI) angkatan ke tiga. Niat hati merantau ingin dapat untung malah buntung.
Datang dari Desa Menadi, Kabupaten Pacitan, pria berkacamata itu bermimpi mengubah kehidupannya. “Saya dari anak yang kurang mampu diiming-imingi sekolah gratis untuk meringankan beban orang tua,” katanya, Selasa (10/5) malam.
Dengan membawa harapan besar dia pergi meninggalkan desanya, hijrah ke Kota Batu pada tahun 2009. Setibanya di sana bukan pendidikan formal yang didapat, melainkan malapetaka, “Jujur saya sangat merasa dikhianati di sana.”
| Baca juga: Terdakwa Pelecehan Seksual SMA Selamat Pagi Indonesia Tidak Dipenjara, Arist Merdeka Sirait Geram!
Mencengangkan, ternyata di sana dia disuruh melakukan pekerjaan layaknya buruh oleh para guru dan Kepala Asrama Sekolah SPI, Ahmad Akhiyat, “Nggak lama saya masuk sekolah itu, saya disuruh turun ke sawah, nyangkul, ngarit rumput, macul, dan lainnya.”
Pekerjaan itu bukan ekstrakurikuler, melainkan kewajiban yang harus dipenuhi selama sekolah dan tinggal di asrama, “Bagi mereka orang SPI, kerja nyangkul, ngasih makan ternak, menyambut tamu, melakukan pertunjukkan, memandu tamu, itu adalah mata pelajaran.”
“Jadi, kalau kita nggak masuk ‘kerja’, berarti nggak dianggap sekolah,” tambah pria berusia 28 tahun itu. Saat itu dia masih kecil, masih sangat labil sehingga mudah dipengaruhi oleh kalimat-kalimat motivasi berkedok eksploitasi oleh Julianto Eka Putra, motivator sekaligus Founder Sekolah Selamat Pagi Indonesia.
| Baca juga: Founder SPI Kota Batu Dilaporkan Atas Dugaan Kasus Pelecehan Seksual
‘Bekerjalah sampai Tuhan menangis melihatmu bekerja’. Kalimat itulah yang berulang-ulang diucapkan Ko Jul kepada semua anak didiknya. Kalimat itu juga yang membuat Robet rela melakukan pekerjaan kasar apapun dan sampai jam berapapun.
Pukul setengah lima pagi, dia harus bangun, “Semua anak dengan agama apapun pokoknya harus bangun untuk beribadah,” ujarnya. “Nanti jam setangah enam dibagi piket pergi ke bagian peternakan, pertanian, dan lainnya sampai jam tujuh”.
Selepas itu, Robet dan kawan-kawan hanya diberi waktu 30 menit untuk mandi dan sarapan sebelum akhirnya ‘dipekerjakan’ kembali pada pukul 07.30 WIB. “Nanti jam segitu, kalau ada grup karyawisata yang berkunjung, kita sudah pakai seragam Kampoeng Kidz lagi untuk nyambut mereka,” sambungnya.
Biadabnya, anak-anak ini dipekerjakan tanpa henti. Kalau ada yang ketahuan ketiduran, mereka langsung disiram air oleh penjaganya. Kekerasan fisik dan mental itu dialami Robet selama sekitar 13 tahun.
Robet bersama dengan puluhan anak lainnya dari beberapa angkatan juga pernah disuruh kerja mengeruk tanah dengan cangkul untuk membuat danau. Pekerjaan itu dilakukan selama berhari-hari, oleh siswa dan siswi, tidak peduli hujan badai sekalipun. “Semua anak disuruh nyangkul danau. Kita nggak tahu kalau itu bisa dikerjakan dengan alat berat,” ujarnya menahan amarah. (*)
Tags:Julianto Eka Putra Robet Betesda Sekolah SPI