By: Azharul Hakim
4 December 2025

NYATA MEDIA — Kelainan bawaan yang menyebabkan sebagian besar jaringan otak dan tempurung kepala tidak terbentuk sejak dalam kandungan merupakan salah satu kondisi paling fatal dalam dunia medis. Di Indonesia, kasus seperti ini jarang ditemukan.

Bukan karena angkanya kecil, melainkan karena sebagian besar janin dengan kelainan tersebut tidak dapat bertahan hidup. Banyak yang meninggal dalam kandungan atau hanya hidup beberapa jam hingga beberapa hari setelah lahir. Namun, sesekali ada kisah berbeda.

Seorang balita laki-laki dari Sulawesi dirujuk ke RSUD dr. Soetomo Surabaya dalam kondisi sangat kompleks: tanpa tempurung kepala dan dengan sebagian besar jaringan otak yang telah berubah menjadi cairan. Kondisi ini ditangani tim dokter beberapa waktu lalu.

| Baca Juga : Kisah Hidup Epy Kusnandar: Kasus Narkoba hingga Sembuh Tumor Otak

Menurut Dr. dr. Muhammad Arifin Parenrengi, Sp.BS(K), spesialis bedah saraf RSUD dr. Soetomo, masyarakat kerap memahami kasus seperti ini secara hitam-putih—seolah anak tanpa otak besar pasti tidak hidup. Padahal, realitas klinis jauh lebih luas. “Kelainan seperti ini bukan nol atau satu. Ada spektrumnya. Ada anak yang otak besarnya tidak terbentuk, tetapi batang otaknya masih ada,” jelasnya.

Batang otak adalah pusat kendali fungsi vital tubuh: pernapasan, detak jantung, pengaturan suhu, hingga kemampuan menelan. Selama batang otak berfungsi, anak masih dapat mempertahankan fungsi dasar untuk hidup, meski tidak mampu melakukan aktivitas apa pun secara mandiri.

“Karena otak besarnya tidak ada, dia tidak bisa bergerak, tidak bisa mandiri. Semua harus dibantu. Tapi kalau ada dukungan penuh dari orang tua, mereka bisa bertahan sampai balita, bahkan remaja atau dewasa,” lanjutnya.

| Baca Juga : 5 Fakta Menarik Pablo Escobar, Raja Kokain yang Ditembak Mati 32 Tahun Lalu

Sebelum dirujuk ke Surabaya, balita tanpa tempurung kepala itu menjalani perawatan di Palu dan Makassar. Saat tiba di RSUD dr. Soetomo, bagian kepala yang menonjol berisi cairan dengan kulit yang sangat tipis, kotor, dan mudah lecet. “Banyak yang takut memandikan karena khawatir kulitnya terkelupas. Padahal kebersihan sangat penting,” kata dr. Arifin.

Tim dokter kemudian mengurangi volume kantong cairan, membersihkan jaringan mati, dan memperbaiki permukaan kulit. Setelah operasi, luka lebih kering dan bayi dapat digendong dengan lebih aman.

Setelah kondisi stabil, muncul pertanyaan: apakah perlu dibuatkan tempurung kepala buatan (prostetik tengkorak)? Secara medis, bahan titanium atau sintetis dapat memberi perlindungan tambahan. Namun biayanya besar.

“Ukuran kecil saja belasan juta. Sementara untuk kasus ini jauh lebih besar,” ujarnya. Selain biaya, terdapat pertimbangan etik: apa harapan keluarga, apakah BPJS atau pemda dapat menanggung, serta apakah tindakan ini benar-benar meningkatkan kualitas hidup.

| Baca Juga : Terjun ke Aceh, Zaskia Adya Mecca Ungkap Kisah Pilu Penyintas Banjir

Dalam kasus ini, batang otak anak masih berfungsi. Anak bisa bernapas spontan dan memiliki refleks menelan, batuk, serta bersin. Namun tanpa otak besar, tidak ada kemampuan kognitif maupun motorik. Kondisi kulit kepala yang menutupi kantong herniasi juga rapuh dan tidak memiliki akar rambut. “Di beberapa kasus luar negeri, kantong bisa kempes. Tapi tetap saja anak membutuhkan bantuan penuh,” jelasnya.

Kelainan ini termasuk defek tabung saraf (neural tube defect). Kekurangan asam folat pada periode sebelum konsepsi hingga trimester pertama merupakan faktor risiko terbesar. “Di negara maju, konsumsi asam folat diwajibkan bahkan sebelum menikah. Kita juga mengarah ke sana,” ujar dr. Arifin.

Selain nutrisi, infeksi awal kehamilan, demam tinggi berulang, penggunaan obat sembarangan, jarang kontrol, atau tinggal jauh dari layanan kesehatan juga meningkatkan risiko. Dalam kasus ini, ibu bayi tidak mengetahui dirinya sedang hamil ketika mengalami demam tinggi dan meminum obat. Dia juga tidak rutin mengonsumsi vitamin kehamilan maupun melakukan USG.

| Baca Juga : Anniversary ke-12, Fakta Menarik Kisah Cinta Surya Insomnia dan Tyara Renata

Dengan kontrol teratur, kelainan ini dapat terdeteksi sejak trimester pertama. “Melalui USG, dokter dapat melihat struktur tulang kepala, ukuran otak, serta apakah ada jaringan yang menonjol. Pada kondisi berat, ketidakhadiran tempurung kepala dan otak besar terlihat jelas,” katanya.

Meski kondisi sangat kompleks, anak ini mampu bertahan berkat kesungguhan keluarga. “Orang tua merawat penuh, keliling ke banyak tempat, tidak menyerah. Itu sebabnya anak ini bisa bertahan sampai dua tahun lebih,” ujar dr. Arifin.

Namun kondisi seperti ini menuntut keteguhan mental, dukungan sosial, dan biaya yang tidak sedikit. Anak tidak dapat duduk, bergerak, atau menopang tubuh tanpa bantuan. Dia harus dimandikan dengan hati-hati, diberi makan dengan pengawasan ketat, dan dijaga dari infeksi kulit maupun luka.

“Secara medis, kita sudah lakukan apa yang bisa dilakukan. Berikutnya, keputusan besar ada di tangan keluarga,” tutupnya. (*)

Tags:

Leave a Reply