By: Radix WP
4 August 2017

Laki-laki itu berdiri termangu. Ia mengantar dan menemani dua anak remajanya nonton Valerian and the City of a Thousand Planet di bioskop. Sementara kedua anaknya mengantre tiket dan cemilan, ia memandangi poster film tersebut. Judul film, dua karakter utama, serta nuansa latarnya terasa familier baginya. Ia pun mencoba mengingat-ingat.

Pada dekade 1980an, manga dari Jepang belum masuk Indonesia. Komik yang mendominasi Indonesia ketika itu adalah buatan Prancis dan Belgia. Yang paling terkenal adalah Tintin (tentang wartawan petualang), Lucky Luke (tentang koboi jago tembak), dan Tanguy et Laverdure (tentang pilot pesawat tempur). Selain itu, beredar juga antara lain Michel Vaillant (tentang balap mobil), Chevalier Ardent (tentang ksatria abad pertengahan), dan Valerian et Laureline.

Yep, film Valerian and the City of a Thousand Planet diadaptasi dari komik klasik karya Pierre Christin dan Jean-Claude Mezierres. Komik Valerian et Laureline diterbitkan pertama kali pada 1970, dan hingga kini masih berlanjut di tangan yang sama. Kisahnya berlatar ratusan tahun di masa depan, ketika manusia bumi membentuk koloni ruang angkasa, bersama banyak makhluk planet-planet lain.

Valerian, tokoh utamanya, ibarat James Bond pada zaman itu. Ia menjalankan tugas dari pemerintah untuk menghadapi berbagai ancaman keamanan. Dalam aksinya, ia dilengkapi berbagai peralatan yang di zaman itupun tak bisa diakses sembarang orang. Dan sebagaimana sang agen 007, Valerian terlibat dengan cukup banyak perempuan. Kemudian ia bertemu dengan Laureline, gadis pemberontak yang jadi rekannya.

Sosok Valerian dan Laureline dalam versi komik.

Komik Valerian sangat populer di Prancis, serta punya pengaruh ke luar negeri. Ketika film Star Wars dirilis pada 1977, sejumlah pengamat merasakan nuansa Valerian pada film tersebut. Penggambaran suasana kehidupan makhluk berbagai planetnya begitu mirip. Millennium Falcon milik Han Solo serupa dengan pesawat XB982 milik Valerian. Bahkan, Mezierres sendiri membuat karikatur yang menyindir hal tersebut.

—–

Dua remaja datang membawa tiket nonton, popcorn, dan minuman. Si laki-laki di depan poster film menoleh ke mereka, “Papa ingat sekarang. Papa pernah membaca komik Valerian ini waktu kanak-kanak.” Kedua anak tersebut menanggapi, “Ow, dari komik lawas ya. Kami sih ingin nonton karena buatan Luc Besson…” Si Papa tertawa, lalu melangkah masuk ruangan bioskop.

Berbeda dengan komik Valerian yang hanya dikenal kalangan tertentu, reputasi sutradara Luc Besson jauh lebih mendunia. Salah satu karya awalnya, La Femme Nikita, dibuatkan sejumlah versi pembuatan ulang di layar lebar dan televisi. Filmnya yang lain, Leon: the Professional, jadi legenda yang melambungkan Jean Reno dan Natalie Portman di Hollywood. Masih ditambah sejumlah karya seperti The Lady (tentang Aung San Suu Kyi), Jeanne d’Arc, dan Lucy.

Sebagai orang Prancis, Luc Besson tentu kenal komik Valerian. Filmnya yang berjudul The Fifth Element sengaja mirip komik tersebut. Dibilang sengaja, karena Besson benar-benar kerja sama dengan Jean-Claude Mezierres dalam film tersebut. Bahkan, sang komikuslah yang mengubah konsep protagonis utama—diperankan Bruce Willis—dari pegawai roket jadi sopir taksi.

Komik Valerian memberi cukup banyak inspirasi bagi sci-fi lainnya.

Dalam pengerjaan The Fifth Element itulah, Mezierres menggoda Besson untuk membuat versi film bagi Valerian. Ketika itu, Besson belum percaya diri. Belasan tahun kemudian, sang sutradara menganggap teknologi grafis sudah memadai untuk mewujudkan kisah Valerian ke layar lebar.

Tags:

Leave a Reply