By: Radix WP
28 July 2017

Perang mengandung berjuta kisah. Sebagian besar tentang saling bunuh. Tapi, tak jarang pula kisah penyelamatan. Lalu, apa yang terjadi jika yang hendak diselamatkan hampir setengah juta nyawa sekaligus? Inilah yang disampaikan dalam film Dunkirk.

Saya sudah lama membaca sejarah Pertempuran Dunkirk, bagian dari Perang Dunia II. Saat itu April 1940, balatentara Jerman di bawah Adolf Hitler memamerkan kehebatannya. Mereka menaklukkan Denmark, Norwegia, Belgia, dan Belanda dalam kurun waktu beberapa pekan. Prancis, musuh bebuyutan Jerman, tak berdaya jadi sasaran selanjutnya. Padahal, Prancis didukung oleh pasukan Inggris.

Pasukan Inggris bersama sebagian pasukan Prancis kemudian terjebak di Dunkirk (Dunkerque), sebuah kota pantai di daerah utara. Winston Churchill, perdana menteri Inggris, bertekad mengungsikan para tentara tersebut menuju daratan Inggris di seberang Selat Dover. Ada lebih dari 400 ribu personel berada di pantai Dunkirk. Tapi mengingat kekuatan militer Jerman, Churchill hanya berani menargetkan 30 ribu orang terangkut.

Commander Bolton (diperankan Kenneth Branagh) mengurus evakuasi ratusan ribu tentara.

Saya jadi antusias mendengar Christopher Nolan hendak membuat film tentang peristiwa tersebut. Reputasi Nolan memang meyakinkan, misalnya lewat Inception, Interstellar, dan tentu saja trilogi The Dark Knight. Saya tak sabar menantikan bagaimana film Dunkirk tersebut akan bersaing dengan Saving Private Ryan karya Steven Spielberg, yang menampilkan pertempuran kolosal di pantai Normandia.

Baru saja film ini diputar di bioskop, dan saya sama sekali tidak kecewa. Nolan kembali menunjukkan kelasnya, dengan berbagai inovasi berani. Pertama, film ini tidak berisi adegan kekerasan yang eksplisit seperti kebanyakan film perang zaman sekarang. Banyak kematian tentunya, tapi tidak banyak mengumbar cipratan darah. Cukup aman mengajak remaja usia sekolah untuk menyaksikannya demi pelajaran sejarah.

Nolan bermain dengan suasana. Dialog terhitung minim. Hampir setiap adegan membuat penonton ikut merasakan ketegangan di pantai Dunkirk tersebut. Dalam perang seperti itu, hidup dan mati bagaikan ditentukan oleh lemparan dadu. Bukan oleh kecerdasan ataupun keterampilan sebagai prajurit. Setiap saat, bisa saja musuh tiba-tiba datang dan menambah jumlah korban.

Untuk kesekian kalinya Tom Hardy berakting dengan sebagian wajah tertutup sesuatu.

Nolan juga menyuguhkan sudut pandang yang cukup lengkap. Film Dunkirk terdiri dari tiga kisah berbeda, yang saling bersinggungan. Ada kisah infanteri muda Inggris yang selama sepekan berjuang keluar dari Dunkirk. Ada kisah pelaut sipil yang berlayar sehari penuh, menyambut seruan pemerintah Inggris untuk bantu mengangkut para tentara. Dan ada kisah penerbang tempur Inggris, yang satu jam bertarung di udara melindungi Operasi Dynamo, kode misi penyelamatan tersebut.

Menampilkan adegan yang tampak seasli mungkin sudah jadi standar film perang zaman sekarang. Tapi, Nolan melangkah lebih jauh lagi. Ia menghindari penggunaan CG (computer graphics). Gantinya, ia mengandalkan kapal laut dan pesawat terbang yang disulap menyerupai kendaraan aslinya dalam sejarah. Bahkan, suara asli mesin pesawat Stuka dan Heinkel milik Jerman, serta Spitfire milik Inggris, direkam untuk film ini.

Inovasi Nolan berikutnya adalah penokohan. Ia sengaja tidak menampilkan satupun tokoh sejarah. Semuanya fiktif, termasuk seorang commander (setingkat letnan kolonel) yang mengawasi operasi. Bisa dibilang, perwira ini dihadirkan agar penonton memahami strategi pemerintah Inggris saat itu. Oh ya, tak tampak juga seorang pun tentara Jerman dalam film ini.

Bukan sekadar meminjamkan kapalnya kepada negara, Mr. Dawson (Mark Rylance) secara patriotis memilih berangkat sendiri.

Tags:

Leave a Reply