NYATA MEDIA — Kelainan bawaan yang menyebabkan sebagian besar jaringan otak dan tempurung kepala tidak terbentuk sejak dalam kandungan merupakan salah satu kondisi paling fatal dalam dunia medis. Di Indonesia, kasus seperti ini jarang ditemukan.
Bukan karena angkanya kecil, melainkan karena sebagian besar janin dengan kelainan tersebut tidak dapat bertahan hidup. Banyak yang meninggal dalam kandungan atau hanya hidup beberapa jam hingga beberapa hari setelah lahir. Namun, sesekali ada kisah berbeda.
Seorang balita laki-laki dari Sulawesi dirujuk ke RSUD dr. Soetomo Surabaya dalam kondisi sangat kompleks: tanpa tempurung kepala dan dengan sebagian besar jaringan otak yang telah berubah menjadi cairan. Kondisi ini ditangani tim dokter beberapa waktu lalu.
| Baca Juga : Kisah Hidup Epy Kusnandar: Kasus Narkoba hingga Sembuh Tumor Otak
Menurut Dr. dr. Muhammad Arifin Parenrengi, Sp.BS(K), spesialis bedah saraf RSUD dr. Soetomo, masyarakat kerap memahami kasus seperti ini secara hitam-putih—seolah anak tanpa otak besar pasti tidak hidup. Padahal, realitas klinis jauh lebih luas. “Kelainan seperti ini bukan nol atau satu. Ada spektrumnya. Ada anak yang otak besarnya tidak terbentuk, tetapi batang otaknya masih ada,” jelasnya.
Batang otak adalah pusat kendali fungsi vital tubuh: pernapasan, detak jantung, pengaturan suhu, hingga kemampuan menelan. Selama batang otak berfungsi, anak masih dapat mempertahankan fungsi dasar untuk hidup, meski tidak mampu melakukan aktivitas apa pun secara mandiri.
“Karena otak besarnya tidak ada, dia tidak bisa bergerak, tidak bisa mandiri. Semua harus dibantu. Tapi kalau ada dukungan penuh dari orang tua, mereka bisa bertahan sampai balita, bahkan remaja atau dewasa,” lanjutnya.
| Baca Juga : 5 Fakta Menarik Pablo Escobar, Raja Kokain yang Ditembak Mati 32 Tahun Lalu
Sebelum dirujuk ke Surabaya, balita tanpa tempurung kepala itu menjalani perawatan di Palu dan Makassar. Saat tiba di RSUD dr. Soetomo, bagian kepala yang menonjol berisi cairan dengan kulit yang sangat tipis, kotor, dan mudah lecet. “Banyak yang takut memandikan karena khawatir kulitnya terkelupas. Padahal kebersihan sangat penting,” kata dr. Arifin.
Tim dokter kemudian mengurangi volume kantong cairan, membersihkan jaringan mati, dan memperbaiki permukaan kulit. Setelah operasi, luka lebih kering dan bayi dapat digendong dengan lebih aman.
Setelah kondisi stabil, muncul pertanyaan: apakah perlu dibuatkan tempurung kepala buatan (prostetik tengkorak)? Secara medis, bahan titanium atau sintetis dapat memberi perlindungan tambahan. Namun biayanya besar.
“Ukuran kecil saja belasan juta. Sementara untuk kasus ini jauh lebih besar,” ujarnya. Selain biaya, terdapat pertimbangan etik: apa harapan keluarga, apakah BPJS atau pemda dapat menanggung, serta apakah tindakan ini benar-benar meningkatkan kualitas hidup.
Tags:Balita RSUD Dr. Soetomo Sulawesi tempurung kepala
