Dalam penelitian itu Dewi memodifikasi material berbasis silika dan titania dengan senyawa organosilan dan logam transisi untuk meningkatkan aktivitas dan kestabilannya sebagai katalis heterogen.
“Tujuannya adalah menghasilkan material yang bisa digunakan untuk sintesis senyawa-senyawa penting, namun dengan metode yang lebih ramah lingkungan dan efisien,” tuturnya.
Tantangan terbesarnya dalam menempuh pendidikan hingga menyelesaikan pendidikan doktor adalah persoalan keterbatasan ekonomi.
Dewi bercerita bahwa saat masih berkuliah S1, ia mendapatkan uang saku Rp600 ribu perbulan yang harus diatur agar cukup untuk kos, makan, dan kebutuhan perkuliahan.
Maklum, ayah wanita asal Kelurahan Tukangkayu, Banyuwangi itu hanya seorang sopir tidak tetap dengan pendidikan terakhir SMP.
| Baca Juga : Kisah Muhammad Agung, Penyintas Brachial Plexus Injury yang Sering Dibully
Sementara ibundanya hanya mengenyam pendidikan hingga SD dan bekerja sebagai asisten rumah tangga.
Saat saudara tertuanya masih sekolah, ayahnya masih bekerja. Namun, saat ia memasuki bangku kelas 2 SMP, ayahnya pensiun. Sejak saat itu Dewi mengaku berat dalam berjuang terutama dalam hal pendidikan.
Meski hidup dalam keterbatasan, Dewi memiliki semangat belajar yang tinggi. Sejak kecil, ia gemar bertanya tentang fenomena alam dan memiliki ketertarikan mendalam pada sains, terutama kimia.
Dewi sadar bahwa pendidikan adalah kunci untuk mengubah kehidupannya dan membanggakan orang tuanya.
Perjalanan akademik Dewi tak selalu mudah. Salah satu titik balik dalam hidupnya terjadi ketika ia mendengar seseorang meremehkan kemampuannya untuk menempuh pendidikan tinggi hanya karena latar belakang ekonomi. (*)
Tags:Dewi Agustiningsih Dewi Agustiningsih UGM Dewi Agustiningsih wisuda Lulusan termuda UGM