Ari bisa saja meraup untung dari anggaran yang sudah diberikan, jika dia mempertahankan ukuran awal. Tetapi, bukan itu yang dia inginkan sebagai seniman.

“Awalnya patung itu konsepnya hanya dibuat 3 meter. Tapi setelah saya pertimbangkan, sebagai seniman kok rasanya kurang pantas. Jadinya ya saya relakan cuannya,” katanya.

Apalagi proyek yang digarap ‘dari warga dan untuk warga’. Menurutnya, rasanya tidak pantas kalau harus menjadi seseorang yang perhitungan demi kampung halamannya sendiri.

Sebagai seniman, Ari memiliki prinsip sendiri dalam membuat sebuah karya. Baginya, seni bukan sekadar karya 2 dimensi atau 3 dimensi yang hanya apik dipandang mata. Tetapi juga memiliki maknanya tersendiri.

“Kalau saya pribadi melihat itu adalah salah satu yang ikonik dari Desa Krasak. Sebetulnya, kalau saya mau diminta bekerja apa pun asalkan pijakannya (latar belakang) itu bagus dan kuat. Misalnya, diminta untuk membuat ikon daerah, tentu saya pertimbangkan,” paparnya.

| Baca Juga : Momen Viral di Balik Gemerlap Met Gala 2025, Ada Stylist Diseret Polisi

Proses pengerjaan patung biawak menghabiskan waktu 1,5 bulan. Dimulai dari Februari hingga Maret. Berutungnya, tidak ada kesulitan serius yang dirasakan oleh Ari. Kecuali kendala teknis yang di luar kuasanya, seperti cuaca yang sering hujan.

“Kalau teknik membuat patung hampir semua sama saja. Tapi yang sulit itu di intensitas penjiwaannya, bagaimana agar patung itu bisa benar-benar terlihat realistis,” tuturnya.

Cara agar bisa ‘menghidupkan’ patung biawak tersebut adalah dengan memelihara hewannya langsung.

Pria berusia 44 tahun itu secara khusus memelihara biawak selama tiga hari. Bukan hanya mengamati fisik, tapi juga karakternya.

Menariknya, Rejo Arianto tidak pernah secara khusus belajar menjadi pematung. Dia merupakan lulusan Jurusan Seni Lukis Murni dari Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta pada 2003, sehingga fokusnya adalah menjadi pelukis.

Tags:

Leave a Reply