Tak hanya itu, Dinkes Jatim juga menggandeng Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Ditjen Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT), dalam menekan angka stunting.
Tujuan Dinkes menggandeng Ditjen PDT, karena selama ini banyak kepala desa yang menggunakan dana desa yang dikucurkan pemerintah pusat, hanya untuk pembangunan infrastruktur.
”Kami bersama pemerintah desa sudah berkomitmen. Dana desa juga digunakan untuk kebutuhan kesehatan. Buku dana desa 2020 untuk kesehatan sudah ada kok. Anggarannya juga nggak besar-besar amat,” ujar Emil.
Bergerak untuk kurangi angka stunting
Saat ini di Jatim, ada 12 kabupaten dan kota yang menjadi lokus stunting. ”Sebenarnya di Jatim ada 38 kabupaten dan kota, tapi yang jadi lokus stunting ada 12 kabupaten dan kota. Itu langsung ditentukan oleh Setwapres (Sekretariat Wakil Presiden). Menurut kami, 38 kabupaten dan kota masih ada balita yang stunting, maka dari itu kita harus bergerak semua dalam menangani stunting,” ujar Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat, Vitria Dewi, saat dijumpai dalam kesempatan yang sama juga.
Vitri mengimbau kepada seluruh masyarakat Jatim yang mempunyai balita, untuk rutin setiap bulan membawa anaknya ke Posyandu. Hal itu dilakukan untuk pencegahan dan penanganan dini stunting.
”Apalagi Agustus ini adalah bulan timbang. Tak ada satu pun balita yang tidak ikut penimbangan di bulan Agustus ini. Nanti kalau ada balita yang nggak datang ke Posyandu, kader akan mendatangi rumahnya,” beber Vitri.
Saat ini Dinkes Jatim sedang melakukan pendataan jumlah balita yang ada di Jatim. Sampai per 19 Juli 2019 lalu, Dinkes sudah mendata 2.800.000 balita.
”Masih 1.600.000 balita yang belum kami data. kami mendatanya by name, by address. Baru akhir Agustus nanti akan kami kasih tahu angka stunting yang sebenarnya di Jatim,” ungkap Vitri. (*)
Tags:Stunting
