Sekembalinya ke Sidoarjo pada 2003, kehidupan Chusnul dan suami mulai berubah drastis mulai 2006 setelah bantuan dari Palang Merah Australia dan berbagai yayasan berhenti.
Kondisi keuangan mereka semakin memburuk. Dan di tahun itu, ia melahirkan anak ke tiga. Dia menyambung hidup dengan berjualan sayur keliling. Sementara suaminya menjadi kuli.
Seolah tak cukup menderita dengan kondisi fisik dan perekonomian yang buruk, wanita berusia 55 tahun itu masih harus menghadapi kenyataan kalau putra bungsunya mengidap Von Willebrand. Penyakit langka gangguan pembekuan darah yang tak bisa disembuhkan. Belum lagi suaminya meninggal dunia pada 2017.
Chusnul tak menutupi bahwa dia juga pernah memiliki keinginan untuk menyerah. Empat kali dia mencoba bunuh diri. Namun Tuhan tampaknya masih ingin ia melanjutkan hidup demi anak-anak.
“Saya ingat dengar anak-anak saya teriak waktu lihat saya lemas itu. Setelah itu saya merasa kalau saya masih harus hidup. Kalau bukan saya, siapa yang mau merawat anak-anak. Apalagi ada si kecil,” katanya.
| Baca Juga : Pengalaman Nadia Melahirkan, Pecah Ketuban saat Nonton Konser Maroon 5

Chusnul Chotimah sebelum Bom Bali I. Foto: Dok. Farah/Nyata
Kini Chusnul Chotimah mencari nafkah dengan berjualan sayur, ayam, dan ikan segar setiap pagi. Dia juga membuka warung kecil-kecilan di depan rumahnya.
Namun penghasilannya juga tak seberapa. Hanya berkisar Rp 50.000-75.000 sehari. Meski cukup untuk memenuhi keperluan sehari-hari, tetapi penghasilannya itu tak mampu untuk menutupi biaya berobat putra bungsunya yang bisa menghabiskan belasan juta.(*)
Tags:Bom Bali I Chusnul Chotimah Chusnul Chotimah Bom Bali Korban Bom Bali Sidoarjo Penyintas Bom Bali