Meski demikian, dia tidak malu untuk menunjukkan penampilannya pada dunia.
“Aku tidak takut untuk memperlihatkan diriku yang botak dan ompong. Orang-orang perlu melihatku sebagaimana diriku yang sesungguhnya. Bukan menjadi masalah kalau aku tidak memiliki rambut. Aku adalah aku terlepas dari kondisiku,” ungkapnya.
Sayangnya, hal tersebut tidak berlaku pada Chad. Dia telah meninggal di usia 39 tahun pada 2011 lalu. Kejadian tersebut ternyata sempat membuat Tiffany trauma.
| Baca Juga: Atlet Seluncur Indah Maxim Naumov Kenang Orangtua di ‘Legacy On Ice’
“Saat pertama kali mendapat diagnosa itu, kami berpikir, ‘Wah itu gila’. Dokter berkata, ‘Kalian sudah hidup hingga sekarang, di luar ekspektasi’. Tapi tiba-tiba saja Chad meninggal. Itu pengalaman traumatis bagiku,” ujarnya.
Namun Tiffany Wedekind dengan cepat berusaha untuk bangkit kembali. Dia berusaha untuk menyibukkan dirinya dengan hal-hal bermanfaat.
“Aku hidup dalam lingkungan yang baik. Aku adalah seorang pemimpi. Aku ingin orang-orang berhenti fokus pada kondisi penuaan dini ini. Aku ingin mereka melihatnya sebagai sebuah keistimewaan,” ujarnya.
“Aku ingin fokus pada kehidupanku. Aku sangat unik. Aku seperti ikan yang secara konsisten berusaha untuk keluar dari laut yang gelap. Tinggiku mungkin hanya 121 cm dan beratku hanya 25 kg, tapi aku sangat kuat,” lanjutnya. (*)
Tags:Chad Wedekind Penuaan Dini penyakit langka sindrom progeria sindrom progeria Hutchinson-Gilford Tiffany Wedekind