Pagelaran Teater Koma yang menampilkan Matahari Papua. (Foto: Naomi/Nyata)

Pagelaran Teater Koma yang menampilkan Matahari Papua. (Foto: Naomi/Nyata)

Rangga lalu menjelaskan dirinya mengumpulkan ide dan visi Nano dari berbagai sumber. Ia lantas mendapatkan berbagai informasi dan pandangan baru terhadap naskah garapan sang ayah.

Beberapa di antaranya, seperti ide naskah, motif setiap karakter, hingga naga yang menjadi villain dalam Matahari Papua. Rangga juga mendapat informasi bahwa visual naga versi naskah itu mengambil referensi dari Eropa.

“Kami melacak pelan-pelan maksudnya seperti apa, inginnya seperti apa. Look karakternya bagaimana, naganya sebesar apa,” jelas Rangga.

| Baca Juga: Happy Salma Suguhkan Pementasan Teater Monolog Mahkota

Rangga mengatakan persiapan dilakukan layaknya produksi Teater Koma sebelum sang ayah berpulang. Untuk menghidupkan napas Nano dalam proses latihan, Rangga sengaja memajang foto Nano di sanggar.

“Di sanggar kita taruh fotonya Pak Nano. Kalau pemain dan pemusik itu langsung ngelihat fotonya Mas Nano, jadi ya kayak diplototin gitu. Jadi latihannya harus bener, harus fokus,” kata Rangga seraya tertawa.

Menurut Ratna, Pertunjukan yang didukung oleh Bakti Budaya Djarum Foundation ini proses produksinya sudah mulai dilakukan sejak lama.

“Sejak Mas Nano masih ada, tahun 2022 lalu. Kalau kita lihat judulnya, Matahari Papua, sebenarnya yang ingin disampaikan adalah mengenai kemerdekaan, baik secara universal maupun individu. Tentu saja sebagai bangsa dan negara sudah merdeka, tapi apakah sebagai umat manusia sudah merdeka? Naga menjadi perumpamaan dari banyak hal yang menjajah kita. Harapan dari lakon ini adalah kita nasing-masing berjuang agar merdeka dari Naga,” jelasnya.

Ia menambahkan, “naskah ini berbicara tentang kemerdekaan kita, yang tentunya pada saat sekarang banyak orang yang menuntut merdeka dengan visi yang berbeda-beda. Mas Nano selalu memasukkan message yang berkenaan dengan yang sedang terjadi. Jadi bukan kita berbicara tentang Papua langsung, walaupun inspirasinya dari Papua.”

| Baca Juga: Pertunjukan Teater Musikal Untuk Para Pejuang kanker

Nantinya, naga dalam Matahari Papua akan ditampilkan secara teatrikal dan dimainkan oleh 6 pemain. Bahkan Teater Koma juga mempersiapkan visual dan multimedia kekinian yang digarap oleh Deden Jalaludin Bulqin

Ratna mengatakan bahwa lagu yang ada di dalam naskah Matahari Papua ada 22 lagu. “Durasi pertunjukan ini 2 jam 15 menit, tanpa interval. Bermain teater itu membutuhkan disiplin untuk dirinya sendiri supaya tetap energik, kuat, dan tetap konsisten, konsentrasi dan toleransi. Buat Mas Nano, nggak ada peran besar dan peran kecil. Semua sama pentingnya, menjadi orang yang membawa set ke panggung,” ujar Ratna.

Dan Pertunjukan ini juga menjadi pertunjukan pertama Teater Koma kembali di Graha Bhakti Budaya, setelah beberapa tahun terakhir ini harus berpindah tempat karena renovasi dan situasi pandemi.

“Kembalinya kami tampil di Graha Bhakti Budaya tentunya menjadi sebuah kesan tersendiri karena tempat ini memiliki sejarah dan menjadi saksi bagi beragam pertunjukan dari Teater Koma. Kini kami kembali meski tanpa kehadiran Mas Nano. Tapi sosok sang guru, bapak, saudara, sahabat itu akan selalu menyertai di hati kami. Wejangan dan ajarannya senantiasa hadir di tiap gerak kami. Karena kami tidak akan pernah berhenti bergerak, tidak pernah titik, selalu Koma,” ujar Ratna Riantiarno yang juga berperan sebagai produser.

Matahari Papua berlatarkan tempat di wilayah Kamoro, Papua. Mengisahkan seorang pemuda bernama Biwar, tumbuh dewasa di bawah asuhan sang Mama, Yakomina, dan didikan Dukun Koreri. Saat mencari ikan, Biwar menolong Nadiva dari serangan Tiga Biawak, anak buah Naga, yang meneror Tanah Papua.

Biwar bercerita kepada Mamanya, sang Mama justru mengisahkan memori pahit. Papa dan tiga paman Biwar ternyata mati dibunuh Naga. Mama, yang sedang mengandung, lolos lalu melahirkan Biwar. Biwar bertekad balas dendam, membunuh Sang Naga. (*)

Tags:

Leave a Reply