Mengajar piano memang passion Veny Lie. Ia mulai mengajar sejak masih duduk di bangku kelas 2 SMP, sekitar tahun 1990. Namun wanita asal Pematang Siantar, Sumatera Barat itu tidak pernah terpikir untuk mengajar anak-anak berkebutuhan khusus.
”Jadi awalnya di tahun 2003, ada seorang murid saya yang punya adik autis. Orangtua meminta saya mengajar piano. Karena mereka diberitahu dokter kalau anak autis harus diberikan terapi musik. Karena saat itu belum banyak tempat untuk terapi musik, jadinya minta ke saya untuk mengajarkan piano,” kata Veny saat ditemui di rumahnya di Kelapa Gading, Jakarta Utara, Selasa (17/9) lalu.
”Awalnya kaget, karena ia tidak bisa diam. Setengah jam itu cuma duduk di depan piano selama lima menit. Sisanya bergerak terus, manjat sana-sini. Saya jadi kewalahan dan berasa mau belajar apa selama setengah jam itu,” kenangnya.
Kepada ibu muridnya, Veny pun memaparkan bahwa mungkin tidak akan ada hasilnya. ”Tapi Mamanya bilang, nggak apa-apa, yang penting ada (terapi musiknya) aja. Dokter suruh main piano, bisa nggak bisa, nggak apa-apa, kita coba,” imbuhnya.
| Baca Juga: Kisah Sukses Elliott Hill, Dari Magang Hingga Jadi CEO Nike
Menjadi Viral
Sejak itulah Veny mulai mengajar anak dengan kebutuhan khusus. Meski sebulan pertama, ia bingung cara mengajarnya.

Veny Lie bersama anaknya, Charlain Alven. (Foto: Reza/Nyata)
”Saya pikir dari pada nggak bisa diem, saya berdiri di belakangnya, megangin tangannya, pegang jarinya dan tekan ke tuts piano. Eh, ternyata dia mau, walaupun awalnya ngamuk–ngamuk. Dan dua bulan kemudian saat mamanya membawa anak itu ke dokter, dokternya bilang sudah ada perkembangan. Fokusnya sudah lebih lama,” kata Veny lagi.
Keberhasilan itu pun membuat orangtua anak itu membicarakannya saat berada di komunitas terapi. Tidak lama kemudian, teman-teman di komunitas datang ke Veny untuk diberi pelajaran yang sama.
”Tapi mereka datang dengan diagnosa yang berbeda-beda. Ada yang down syndrome, turner syndrome, celebral palsy dan autis. Karena saya nggak punya pengalaman, saya bingung. Beda-beda cara ngajar-nya,” tuturnya.
”Anak yang down syndrome suka lupa. Hari ini kita ngajar ABC, besok ABC sudah lupa. Jadi saya harus ulang. Kalau autis, hari ini saya ngajar ABC, DEF-nya dia sudah bisa sendiri. Suka-suka dia. Saya belum ngajarin, dia udah duluan. Setengah mati ngejarnya. Sama-sama menantang,” paparnya.
Dari situ, orang mulai mengenal Veny Lie sebagai pengajar musik anak-anak berkebutuhan khusus. Hingga lebih banyak lagi orangtua dengan anak-anak berkebutuhan khusus datang dan memintanya untuk mengajari anak-anak mereka.
| Baca Juga: Heboh, Wanita Ini Lahirkan Bayi Kembar dari Dua Rahim yang Berbeda
Kuliah Khusus
Tidak ingin hanya mengandalkan pengalaman, Veny mengambil kuliah Special Needs Development di Linguistic Council of Indonesia. ”Ternyata pengajarannya sama yang saya praktikan,” ungkapnya.
Hingga saat ini, tempat mengajar Veny masih berbentuk les privat musik yang diberi nama Ven’s Club Music School. Tidak hanya anak-anak berkebutuhan khusus, Veny juga menerima anak-anak tidak berkebututuhan khusus.
”Semua yang berkebutuhan khusus, pada dasarnya bisa diterima di sini. Bahkan yang benar-benar tidak bisa gerakkan jari pun saya terima. Karena pengalaman saya, beberapa orangtua murid sering menutupi keadaan anaknya. Kalau langsung saya tolak, orangtua murid tambah down. Kita akan berusaha semaksimal mungkin sampai muridnya sendiri yang nggak mau,” kata Veny yang menerima murid minimal berusia tiga setengah tahun itu.
Diakui Veny, ada tantangan tersendiri saat mengajarkan musik kepada anak yang masih berusia 3,5 tahun. Terlebih kepada anak-anak berkebutuhan khusus yang masih sukar jika diajari untuk mengontrol diri sendiri.
Ia mencari cara mengenalkan bunyi-bunyian dan respon yang semestinya mereka berikan. Hingga pada akhirnya Veny memutuskan untuk melatih indera pendengaran anak-anak itu dengan menggunakan tepukan tangan sesuai ketukan.

Veny Lie dan muridnya (tengah) yang tampil di Kuala Lumpur, Malaysia. (Foto: Dok. Pri)
Harus Ekstra Sabar, Target Saya Mereka Bisa Mandiri
Dengan metode itulah Veny melatih respon yang diberikan anak-anak ketika mereka mendengar irama piano.
”Untuk mengajar, saya nggak bisa patokin kurikulum A atau B, programnya nggak bisa. Karena tiap ABK yang dateng, karakternya beda-beda. Jadi penerapan ke mereka beda-beda. Ada yang satu kali datang bisa belajar tiga judul langsung dalam setengah jam, ada yang tiga bulan baru bisa satu judul lagu. Tapi target saya, tiga bulan harus selesai satu judul,” katanya.
Tidak hanya ekstra sabar saat mengajar, Veny juga harus menghadapi sikap anak-anak yang memang tidak bisa mengontrol diri.
”Ada yang menjambak temannya, atau saya pernah juga dicekik tanpa sebab. Pernah juga yang kebelet pipis, langsung saja ngompol di situ,” kenangnya.
Seiring berjalannya waktu, Veny mulai memahami karakter murid-muridnya. ”Kalau mengajar, saya nggak pernah pakai parfum beraroma buah-buahan. Karena aroma itu akan mengganggu fokus, terutama pada ABK yang diet makanan. Saya juga nggak bisa pakai baju yang gambarnya polkadot, karena itu juga mengganggu fokusnya. Ada juga yang nggak boleh melihat kipas angin menyala. Jadi itu tergantung karakter anak, dan kita harus mengerti semua. Meski kadang perubahan mood dan perilaku yang secara tiba-tiba tak bisa ditebak,” ungkapnya.
| Baca Juga: Soborno Bari, Anak 12 Tahun Jadi Mahasiswa Termuda di NYU
Tidak Menyerah
Mengajar anak berkebutuhan khusus juga membuat telinganya berdenging karena muridnya terus menerus berteriak.
”Dokter menyarankan menggunakan penyumbat telinga. Saya juga harus meninggikan suara karena harus bersaing dengan suara-suara mereka, hingga pita suara sempat rusak juga. Hingga saya harus istirahat tidak bersuara selama 3 bulan,” tutur Veny yang setiap bulan harus servis pianonya karena jadi sasaran murid-muridnya.
Namun demikian, Veny tidak mau menyerah. Karena ia merasa di balik semua tantangan yang dihadapi, cukup banyak kebahagiaan yang bisa dirasakan.
Terutama ketika ia berhasil membantu anak-anak berkebutuhan khusus itu memiliki perilaku yang lebih tenang dan berhasil bermain piano dengan baik.
”Bahkan ada satu murid saya yang down syndrome memenangkan MURI 5 jam memainkan 22 lagu,” kata ibunda Charlain Alven (21) itu.
Secara pribadi, Veny berharap murid-muridnya bisa diterima dan lebih dipandang. Hingga seringkali ia mengikutkan mereka untuk tampil di acara bakti sosial yang diadakan komunitas atau perusahaan.
”Saya pernah bawa 10 murid tampil di acara bakti sosial yang diadakan Lions Club di Medan. Saya ingin mereka menunjukkan kemampuan mereka di depan banyak orang, hingga mereka tidak lagi dipandang sebelah mata. Dan orangtua mereka bisa lebih percaya diri dan tidak malu dengan keberadaan mereka,” ungkapnya.
| Baca Juga: Nur Fatia Azzahra, Calon Polwan Tunadaksa Pertama di Indonesia
Ikut Konser
Untuk melatih anak-anak didiknya tampil, Veny selalu mengadakan konser tahunan. ”Tiga bulan les, sudah bisa ikut konser. Mau sejelek apapun, kasih mereka tampil. Kalau pas di konser pertama sudah bagus, saya akan bawa ke konser nasional dua tahun sekali,” katanya.

Veny Lie bersama murid-muridnya saat di Kuala Lumpur, Malaysia. (Foto: Dok. Pri)
Namun Veny mengakui bila dirinya tidak pernah mengikutkan murid-muridnya kompetisi. ”Karena kalau lomba itu setiap anak levelnya beda-beda. Apalagi special needs ada yang berat ada yang ringan. Kalau masuk satu kategori, nggak adil. Jadi saya lebih suka mengikutkan mereka ke konser,” katanya.
Meski demikian, Veny juga tidak menutup kemungkinan murid-muridnya berkembang, bahkan bermain di ajang internasional. Untuk konser internasional, Veny juga sering mengajak murid-muridnya. Seperti pada 5 Oktober lalu, ia membawa 11 orang muridnya untuk tampil di konser A Collaboration Melodies & Maestry di Kuala Lumpur Malaysia.
“Konser tersebut disponsori Piano Hailun. Saya senang, karena anak-anak special needs saya bisa tampil di acara internasional,” katanya bangga.
Februari mendatang, Veny juga akan membawa anak-anak didiknya untuk tampil bersama sekolah musik Maestro Platinum di Tanjung Pinang, Riau.

Amanda Christebelle Liman dan ibunya. (Foto: Reza/Nyata)
Amanda Christebelle Liman, Iringi Kebaktian
Salah seorang murid Veny Lie, Amanda Christabelle Liman kini bisa mengiringi acara kebaktian di gereja. Amanda adalah penyandang autis dan mulai belajar musik sejak berusia 12 tahun.
Berlatih musik membuat motorik halusnya terlatih. ”Anak-anak autis biasanya sensitif di Fine motoriknya, kemampuan otot-otot kecil dan koordinasi mata-tangan dalam beraktivitas. Dengan terapi musik, jadi lebih bagus dan lebih fokus,” papar Ria Hardi, ibunda Amanda.
Target Ria untuk Amanda dengan terapi musik, khususnya piano, adalah keseimbangan otak kiri dan kanan. ”Agar lebih fokus, lebih bisa menikmati, dan mood-nya dia jadi lebih bagus. Secara dasar dia bisa baca, bisa tulis, calistung dasar,” katanya.
Ria juga memberi kesempatan Amanda mengikuti kompetisi. ”Ikut lomba seperti itu bukan semata-mata mengejar menang. Tapi perkembangan dia secara mental. Bisa main piano, merasa happy, dapat pujian dan belajar bersosialisasi,” jelas Ira.

Marvel Theodore Iswan saat didampingi Veny Lie. (Foto: Reza/Nyata)
Marvel Theodore Iswan, Berlatih Daya Ingat
Sama seperti Amanda, Marvel Theodore Iswan juga tidak ingin menyerah dengan keterbatasan yang dimilikinya. Namun remaja berusia 17 tahun itu seorang down syndrome.
”Kita sudah tahu adanya down syndrome pada Marvel karena sejak lahir sudah terlihat tanda-tandanya,” kata Arina, ibunda Marvel.
Marvel baru dua tahun ini belajar piano dengan Veny Lie, tepatnya mulai September 2022. Namun saat konser tahunan 2023, Marvel sudah diminta ikut. ”Marvel suka banget,” kata Arina.
| Baca Juga: Viral, Wanita Jepang Ini Mampu Beli 3 Rumah Berkat Frugal Living
Berlatih piano membuat Marvel berlatih daya ingat. ”Nggak mudah lho. Ia bisa memainkan satu lagu hingga selesai, bikin saya bangga. Sekarang lagi belajar satu lagu baru, Can’t Take My Eyes off You. Itu lagu sulit, temponya cepat. Ia sudah bisa mainin, tapi temponya masih lambat,” lanjut Arina.
Belajar piano membantu perkembangan Marvel. ”Membantu ia belajar membaca, memegang pulpen dengan baik, melatih kesabaran dan daya ingat. Saya tidak ekspektasi ia pandai secara akademis, yang saya persiapkan, ia bisa kerja. Ia cukup percaya diri kalau di luar rumah, tapi memang belum pernah saya lepas pergi sendiri. Tapi memori jangka panjanghya bagus, dia hapal dengan jalan-jalan yang sudah dilewati. Walaupun verbalnya tidak terlalu lancar, tapi sudah banyak perbaikan,” kata Arina lagi. (*)
Tags:Amanda Christebelle Liman Anak Berkebutuhan Khusus Marvel Theodore Iswan Pengajar Piano Pengajar Piano Anak Berkebutuhan Khusus Pengajar Piano Veny Lie Veny Lie