By: Syukri
5 November 2025

NYATA MEDIA — Sepekan sebelum berangkat ke Papua Barat, Anggit Bima Wicaksana duduk lama bersama kedua orang tuanya di ruang keluarga. Malam itu, diskusi mereka berlangsung hingga lewat tengah malam. Ayah, Ngatno Prawiro Parjan, mencoba menahan anak bungsunya agar tidak ikut program Ekspedisi Patriot di Distrik Bomberay, Fakfak.

Sementara, Dyah Ari Retnowati, ibunya, lebih terbuka menampakkan kecemasannya. Jarak yang jauh, cuaca yang tak menentu, dan rasa takut seorang ibu yang tak ingin anaknya jauh di tanah asing. Bahkan, sehari sebelum keberangkatan pada 2 September, keluarga kecil ini kembali berdiskusi panjang.

Namun anak bungsu dari 4 bersaudara itu tetap teguh. “Pak, saya kuliah empat tahun, sekarang saatnya mengamalkan ilmu saya,” katanya pelan tapi yakin.

Ngatno dan Dyah hanya bisa saling pandang. Mereka tahu, keputusan itu bukan sekadar ambisi, tapi panggilan hati. “Sebagai orang tua, berat rasanya melepas. Tapi kami juga bangga, karena niatnya tulus,” ujar Dyah lirih saat ditemui di rumahnya di Tangerang Selatan, pada Minggu (2/11).

| Baca Juga: Karena Gemuk, Miss Korea 1997 dan Aktris Kim Ji Yeon Kini Jadi Agen Asuransi

Selama di Papua, komunikasi antara Anggit dan keluarga tetap terjalin. Dia sering mengabarkan bahwa kehidupannya baik-baik saja, bahwa makanan di kampung tempatnya tinggal “enak-enak semua”, dan masyarakat setempat sangat ramah.

Dia dipercaya menjadi koordinator riset dalam timnya, yang terdiri atas empat mahasiswa dan satu dosen pembimbing. Ngatno merasa lega mendengar kabar itu, apalagi basecamp mereka berada di dekat masjid.

“Saya pesan pada dosennya, ‘Bu, mohon dampingi anak saya. Dia masih muda.’ Tapi justru dosennya bilang Anggit itu paling dewasa dan paling menghibur,” kenang Dyah dengan mata berkaca.

Anggit Bima Wicaksana dikenal religius, mandiri, dan ringan tangan membantu. Dia tak pernah lupa salat, tak pernah mengeluh, dan selalu menempatkan kepentingan orang lain di atas dirinya. Idealismenya sederhana, agar ilmunya bisa berguna bagi masyarakat, bukan hanya sekadar teori.

| Baca Juga: Slater Jones, Desainer Perhiasan AS Pasang Berlian 2 Karat di Mata Kanan

Tanggal 21 Oktober 2025, pagi itu cuaca di Bomberay tampak cerah. Anggit sarapan nasi goreng dan telur dadar, lalu bersiap survei bersama temannya, Andra. Mereka berencana mengunjungi desa sekitar 20 kilometer dari basecamp. Karena medan sulit, keluarganya sempat menyarankan agar dia menyewa mobil. Namun Anggit memilih naik motor.

Menjelang siang, hujan turun deras. Jalanan berlumpur dan licin. Dalam perjalanan pulang, motor yang dikendarai Anggit tergelincir di tikungan tajam. Dia terpelanting ke arah kanan, dan sebuah truk pengangkut sawit yang melintas tak sempat menghindar. Andra selamat, namun Anggit tak sadarkan diri.

Tags:

Leave a Reply